My Green Clock

Rabu, 03 November 2010

Hikmah Gerakan Shalat

Tugas Agama Islam: Hikmah Gerakan Sholat saat Adzan Maghrib di TPI pada saat Bulan Ramadhan
Hikmah Gerakan Sholat menurut ilmu kesehatan
Hikmah Gerakan Sholat; Berwudlu, terjadinya proses peremajaan dan pencucian kulit, selaput lendir dan juga lubang tubuh yang berhubungan dengan dunia luar.
Hikmah Gerakan Sholat: Takbirotul Ikhrom, menghindarkan dari berbagai gangguan persendian khususnya tubuh bagian atas.
Hikmah Gerakan Sholat: Ruku', melatih kandung kemih untuk mencegah dari gangguan prostat.
Hikmah Gerakan Sholat: I'tidal, organ pencernaan di dalam perut mengalami pemijatan dan pelonggaran secara bergantian, sehingga menjadi lancar.
Hikmah Gerakan Sholat: Sujud, memperkaya oksigen mengalir ke otak. juga menghindari gangguan wasir dan memberikan kesuburan dan kesehatan organ wanita.
Hikmah Gerakan Sholat: Duduk Iftiros, menghindari nyeri pada pangkal paha yang menyebabkan penderitanya tidak mampu berjalan.
Hikmah Gerakan Sholat: Sujud, gerakan sujud secara kontinyu dapat memacu kecerdasan otak.
Hikmah Gerakan Sholat: Duduk Tawarruk, mencegah penyakit kandung kemih, prostat, saluran vas deferanses dan impotensi.
Hikmah Gerakan Sholat: Salam, gerakan memutar kepala secara maksimal berguna untuk melancarkan darah ke kepala dan berguna melancarkan darah ke kepala dan mengencangkan kulit wajah.
Hikmah Gerakan Sholat juga dapat memperindah tubuh wanita dan kelenjar air susu di dalamnya.

Sumber: http://muhamadalisaifudin.blogspot.com/2010/09/hikmah-gerakan-sholat.html

Kamis, 09 September 2010

Jalan Masuk Surga (1)

Dari ‘Abdullah bin
Buraidah, dari ayahnya, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa berangkat shalat ‘ied pada hari Idul Fithri dan beliau
makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak
makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari shalat ‘ied baru beliau
...menyantap hasil qurbannya.” [HR. Ahmad 5/352.Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa hadits ini hasan.]

Kamis, 19 Agustus 2010

Jalan Masuk Surga (2)

Ibnul Atsir menjelaskan, " Baju syuhroh adalah baju yang apabila seseorang mengenakannya ia menjadi terkenal dan populer diantara manusia".(Jami'u '-Ushul X/658.)

Jalan Masuk Surga (3)

‎" Barangsiapa
mengenakan baju syuhroh(popularitas) di dunia, niscaya ALLAH akan
memakaikannya baju kehinaan kelak pada hari kiamat, kemudian Dia
menyalakan api yang berkobar-kobar kepadanya." (Dikeluarkan oleh Abu
Dawud XI/72,Ibnu Majah II/1192, dan Ahmad II/139 sanadnya hasan,Lihat
shohih Ibnu Majah karya Al-Albani 11/284).

Senin, 16 Agustus 2010

Jalan Masuk Surga (4)

Bolehkah Shalat di Akhir Malam Jika Sebelum Tidur Sudah Witir?

Ada sebuah pertanyaan: Apakah diperbolehkan bagi seseeorang yang sudah melaksanakan shalat tarawih & witir ( berjamaah dng imam krn ingin mendapat pahala shalat semalam suntuk), tapi masih melakukan shalat tahajud ( shalat malam setelah tidur)...tapi kemudian dia tidak melakukan shalat witir lagi...

Kita akan melihat terlebih dahulu pembahasan "Setelah Shalat Witir, Bolehkah Shalat Sunnah Lagi?"

Mengenai masalah ini, ada dua pendapat di antara para ulama.

Pendapat pertama, mengatakan bahwa boleh melakukan shalat sunnah lagi sesukanya, namun shalat witirnya tidak perlu diulangi.

Pendapat ini adalah yang dipilih oleh mayoritas ulama seperti ulama-ulama Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, pendapat yang masyhur di kalangan ulama Syafi'iyah dan pendapat ini juga menjadi pendapat An Nakho'i, Al Auza'i dan 'Alqomah. Mengenai pendapat ini terdapat riwayat dari Abu Bakr, Sa'ad, Ammar, Ibnu 'Abbas dan 'Aisyah. Dasar dari pendapat ini adalah sebagai berikut.Pertama, 'Aisyah menceritakan mengenai shalat malam Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

كَانَ يُصَلِّى ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى ثَمَانَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ يُوتِرُ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ قَامَ فَرَكَعَ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالإِقَامَةِ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ.

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat 13 raka'at (dalam semalam). Beliau melaksanakan shalat 8 raka'at kemudian beliau berwitir (dengan 1 raka'at). Kemudian setelah berwitir, beliau melaksanakan shalat dua raka'at sambil duduk. Jika ingin melakukan ruku', beliau berdiri dari ruku'nya dan beliau membungkukkan badan untuk ruku'. Setelah itu di antara waktu adzan shubuh dan iqomahnya, beliau melakukan shalat dua raka'at." (HR. Muslim no. 738)

Kedua, dari Ummu Salamah, beliau mengatakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melakukan shalat dua raka'at sambil duduk setelah melakukan witir (HR. Tirmidzi no. 471. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ketiga, dari Jabir bin 'Abdillah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ خَافَ مِنْكُمْ أَنْ لاَ يَسْتَيْقِظَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ ثُمَّ لْيَرْقُدْ ...

"Barangsiapa di antara kalian yang khawatir tidak bangun di akhir malam, maka berwitirlah di awal malam lalu tidurlah, ..." (HR. Tirmidzi no. 1187. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Dipahami dari hadits ini bahwa jika orang tersebut bangun di malam hari –sebelumnya sudah berwitiri sebelum tidur-, maka dia masih diperbolehkan untuk shalat.

Adapun dalil yang mengatakan bahwa shalat witirnya tidak perlu diulangi adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ

"Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam." (HR. Tirmidzi no. 470, Abu Daud no. 1439, An Nasa-i no. 1679. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Pendapat kedua, mengatakan bahwa tidak boleh melakukan shalat sunnah lagi sesudah melakukan shalat witir kecuali membatalkan shalat witirnya yang pertama, kemudian dia shalat dan witir kembali. Maksudnya di sini adalah jika sudah melakukan shalat witir kemudian punya keinginan untuk shalat sunnah lagi sesudah itu, maka shalat sunnah tersebut dibuka dengan mengerjakan shalat sunnah 1 raka'at untuk menggenapkan shalat witir yang pertama tadi. Kemudian setelah itu, dia boleh melakukan shalat sunnah (2 raka'at – 2 raka'at) sesuka dia, lalu dia berwitir kembali.Inilah pendapat lainnya dari ulama-ulama Syafi'iyah. Mengenai pendapat ini terdapat riwayat dari 'Utsman, 'Ali, Usamah, Ibnu 'Umar, Ibnu Mas'ud dan Ibnu 'Abbas. Dasar dari pendapat ini adalah diharuskannya shalat witir sebagai penutup shalat malam. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا

"Jadikanlah penutup shalat malam kalian adalah shalat witir." (HR. Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751)

Pendapat yang Terkuat

Dari dua pendapat di atas, pendapat yang terkuat adalah pendapat pertama dengan beberapa alasan berikut.Pertama, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan shalat sunnah setelah beliau mengerjakan shalat witir. Perbuatan beliau ini menunjukkan bolehnya hal tersebut.Kedua, pendapat kedua yang membatalkan witir pertama dengan shalat 1 raka'at untuk menggenapkan raka'at, ini adalah pendapat yang lemah ditinjau dari dua sisi.1. Witir pertama sudah dianggap sah. Witir tersebut tidaklah perlu dibatalkan setelah melakukannya. Dan tidak perlu digenapkan untuk melaksanakan shalat genap setelahnya.2. Shalat sunnah dengan 1 raka'at untuk menggenapkan shalat witir yang pertama tadi tidaklah dikenal dalam syari'at.Dengan dua alasan inilah yang menunjukkan lemahnya pendapat kedua.

Kesimpulan

Dari pembahasan kali ini, ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil.

Pertama, bolehnya melakukan shalat sunnah lagi sesudah shalat witir.

Kedua, diperbolehkannya hal ini juga dengan alasan bahwa shalat malam tidak ada batasan raka'at sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Majmu' Al Fatawa, 22/272).

Jika kita telah melakukan shalat tarawih ditutup witir bersama imam masjid, maka di malam harinya kita masih bisa melaksanakan shalat sunnah lagi. Sehingga tidak ada alasan untuk meninggalkan imam masjid ketika imam baru melaksanakan shalat tarawih 8 raka'at dengan niatan ingin melaksanakan shalat witir di rumah sebagai penutup ibadah atau shalat malam. Ini tidaklah tepat karena dia sudah merugi karena meninggalkan imam sebelum imam selesai shalat malam. Padahal pahala shalat bersama imam hingga imam selesai shalat malam disebutkan dalam hadits, "Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh." (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Shahih).

Ketiga, adapun hadits Bukhari-Muslim yang mengatakan "Jadikanlah penutup shalat malam kalian adalah shalat witir", maka menjadikan shalat witir sebagai penutup shalat malam di sini dihukumi sunnah (dianjurkan) dan bukanlah wajib karena terdapat dalil pemaling dari perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 395).

Demikian pembahasan kami dalam rangka menjawab pertanyaan seputar shalat tarawih yang kami bahas.

Semoga bermanfaat dan menjadi ilmu yang bermanfaat.

Rujukan:

Majmu' Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Mawqi' Al Islam, Asy SyamilahShahih Fiqih Sunnah, Abu Malik, 386-395, Al Maktabah At Taufiqiyah

***Diselesaikan pada hari Jum'at Al Mubarok, 7 Ramadhan 1430 H di Panggang, Gunung Kidul

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.rumaysho.com

Jalan Masuk Surga (5)

sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ“Pembatas antara seorang muslim dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 82)

Jalan Masuk Surga (6)

bismillah...

allah berfirman :

١٠٠. وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.
(QS.At-Taubah : 100)

allah berfirman :
“Hanyalah yang memiliki khasy-yah (takut) kepada Allah dari kalangan hamba-hamba-Nya adalah para ‘ulama.” [Fathir : 28]

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan : Yakni, hanya yang khasy-yah terhadap-Nya dengan sebenarnya adalah para ‘ulama yang mengenal-Nya / berilmu tentang-Nya. Karena setiap kali ma’rifah (pengenalan) terhadap Dzat yang Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Berilmu, yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan dan nama-nama yang indah, bila ma’rifah terhadap-Nya semakian sempurna dan ilmu tentang-Nya makin lengkap, maka makin bertambah besar dan bertambah banyak pula khasy-yah terhadap-Nya.”


Dari abdullah bin mas'ud radhiyallahu anhu,nabi berkata : sebaik-baik manusia adalah zamanku (sahabat nabi) kemudia zaman setelahnya (tabi'in) kemudia zaman setelahnya ( tabi'it tabi'in ) (HR.Bukhary no.2652 dan Muslim (2533/211) )
hadits sahih dan haditsnya mutawatir...


Al-Imam Az-Zuhri rahimahullah berkata: Ulama kita yang terdahulu selalu mengatakan: “Berpegang dengan As-Sunnah adalah keselamatan. Ilmu itu tercabut dengan segera, maka tegaknya ilmu adalah kekokohan Islam sedangkan dengan perginya para ulama akan hilang pula semua itu (ilmu dan agama).” (Al-Lalikai 1/94 no. 136 dan Ad-Darimi, 1/58 no. 16)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ؛ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا.

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan serta merta mencabutnya dari hati manusia. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ‘ulama. Kalau Allah tidak lagi menyisakan seorang ‘ulama pun, maka manusia akan menjadikan pimpinan-pimpinan yang bodoh. Kemudian para pimpinan bodoh tersebut akan ditanya dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan. [Al-Bukhari (100, 7307); Muslim (2673)]

Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata : “Tidak akan datang suatu masa atas kalian melainkan masa yang akan datang tersebut lebih buruk daripada masa sebelumnya hingga datangnya Hari Kiamat. Maksud saya bukanlah kelapangan hidup yang diterimanya atau harta yang didapatnya (lebih sedikit). Akan tetapi maksud saya adalah masa yang akan datang itu lebih sedikit ilmunya daripada masa yang telah berlalu. Apabila ‘ulama telah pergi dan semua manusia merasa sama rata, akibatnya tidak ada lagi yang memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari munkar. Saat itulah mereka binasa.”

Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengingatkan dan menasehatkan :

عليكم بالعلم قبل أن يرفع، ورفعه هلاك العلماء، فوالذي نفسي بيده ليودن رجال قتلوا في سبيل الله شهداء أن يبعثهم الله علماء لما يرون من كرامتهم، وإن أحدا لم يولد عالما، وإنما العلم بالتعلم

“Wajib atas kalian untuk menuntut ilmu, sebelum ilmu tersebut dihilangkan. Hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya para ‘ulama. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh orang-orang yang terbunuh di jalan Allah sebagai syuhada, mereka sangat menginginkan agar Allah membangkitkan mereka dengan kedudukan seperti kedudukannya para ‘ulama, karena mereka melihat begitu besarnya kemuliaan para ‘ulama. Sungguh tidak ada seorang pun yang dilahirkan dalam keadaan sudah berilmu. Ilmu itu tidak lain didapat dengan cara belajar.” [lihat Al-’Imu Ibnu Qayyim, no. 94].


Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “…. Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka, kecuali satu golongan. Beliau ditanya: ‘Siapa dia wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: golongan yang aku dan para sahabatku mengikuti.” (Hasan, riwayat At Tirmidzi dalam Sunannya, Kitabul Iman, Bab Iftiraqu Hadzihil Ummah, dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash).






AL-IMAM ADZ-DZAHABI(673-784 H)


Nama lengkapnya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz bin Abdullah adz-Dzahabi al-Fariqi. Beliau berasal dari negara Turkumanistan, dan Maula Bani Tamim, Beliau dilahirkan pada tahun 673 H di Mayyafariqin Diyar Bakr. Ia dikenal dengan kekuatan hafalan, kecerdasan, kewara’an, kezuhudan, kelurusan aqidah dan kefasihan lisannya.


Guru-gurunya


Beliau menuntut ilmu sejak usia dini dan ketika berusia 18 tahun menekankan perhatian pada dua bidang ilmu: Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadits Nabawi. Beliau menempuh perjalanan yang jauh dalam mencari ilmu ke Syam, Mesir, dan Hijaz (Mekkah dan Madinah). Beliau mengambil ilmu dari para ulama di negeri-negeri tersebut. Diantara para ulama yang menjadi guru-guru beliau adalah:


1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Yang beliau letakkan namannya paling awal di deretan guru-guru yang memberikan ijazah pada beliau dalam kitabnya, Mu’jam asy-Syuyukh. Beliau begitu mengagumi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dengan mengatakan, “Dia lebih agung jika aku yang menyifatinya. Seandainya aku bersumpah di antara rukun dan maqam maka sungguh aku akan bersumpah bahwa mataku belum pernah melihat yang semisalnya. Tidak…-Demi Allah- bahkan dia sendiri belum pernah melihat yang semisalnya dalam hal keilmuan.” (Raddul Wafir , hal. 35)


2. Al-Hafizh Jamaluddin Yusuf bin Abdurman al-Mizzi
Yang dikatakan oleh beliau, “Dia adalah sandaran kami jika kami menemui masalah-masalah yang musykil.” (ad-Durar al-Kaminah,V:235)


3. Al-Hafizh Alamuddin Abdul Qasim bin Muhammad al-Birzali
Yang menyemangati beliau dalam belajar ilmu hadits, beliau mengatakan tentangnya: “Dialah yang menjadikanku mencintai ilmu hadits.” (ad-Durar al-Kaminah, III:323)


Ketiga ulama diatas adalah yang banyak memberikan pengaruh terhadap kepribadian beliau. Adapun guru-guru beliau yang lainnya adalah Umar bin Qawwas, Ahmad bin Hibatullah bin Asakir, Yusuf bin Ahmad al-Ghasuli, Abdul Khaliq bin Ulwan, Zainab bintu Umar bin Kindi, al-Abuqi, Isa bin Abdul Mun’im bin Syihab, Ibnu Daqiqil ‘Id, Abu Muhammad ad-Dimyathi, Abul abbas azh-Zhahiri, ali bin Ahmad al-Gharrafi, Yahya bin ahmad ash-Shawwaf, at-Tauzari, masih banyak lagi yang lainnya.


Al-Imam adz-Dzahabi memiliki Mu’jam asy-Syuyukh (Daftar Guru-Guru) beliau yang jumlahnya mencapai 3000-an orang (adz-Dzahabi wa Manhajuhu fi Kitabihi, Tarikhil Islam)


Murid-Muridnya


Di antara murid beliau adalah: Tajuddin as-Subki, Muhammad bin Ali al-Husaini, al-Hafizh Ibnu kasir, al-Hafizh Ibnu Rajab, dan masih banyak lagi selain mereka.


Pujian Para Ulama Kepada Beliau


Al-Imam Ibnu Nashruddin ad-Dimasyqi berkata, “Beliau adalah Ayat (tanda kebesaran Allah-red) dalam ilmu rijal, sandaran dalam jarh wa ta’dil (ilmu kritik hadits-red) lantaran mengetahui cabang dan pokoknya, imam dalam qiraat, faqih dalam pemikiran, sangat paham dengan madzhab-madzhab para imam dan para pemilik pemikiran, penyebar sunnah dan madzhab salaf di kalangan generasi yang datang belakangan.” (Raddul Wafir, hal. 13)

Ibnu Katsir berkata, “Beliau adalah Syaikh al-Hafizh al-kabir, Pakar Tarikh Islam, Syaikhul muhadditsin ……beliau adalah penutup syuyukh hadits dan huffazhnya.” (al-Bidayah wa an-Nihayah, XIV:225)


Tajuddin as-Subki berkata, “Beliau adalah syaikh Jarh wa Ta’dil, pakar Rijal, seakan-akan umat ini dikumpulkan di satu tempat kemudian beliau melihat dan mengungkapkan seja mereka.” (Thabaqah Syafi’iyyah Kubra, IX:101)


an-Nabilisi berkata, “Beliau pakar zamannya dalam hal perawi dan keadaaan-keadaan mereka, tajam pemahamannya, cerdas, dan ketenarannya sudah mencukupi dari pada menyebutkan sifat-sifat nya.” (ad-Durar al-Kaminah, III:427)


Ash-Shafadi berkata, “Beliau seorang hafizh yang tidak tertandingi, penceramah yang tidak tersaingi, mumpuni dalam hadits dan rijalnya, memiliki pengetahuan yang sempurna tentang ‘illah dan keadaan-keadaannya, memiliki pengetahuan yang sempurna tentang biografi manusia. Menghilangkan ketidakjelasan dan kekaburan dalam seja manusia. Beliau memiliki akal yang cerdas, benarlah nisbahnya kepada dzahab (emas). Beliau mengumpulkan banyak bidang ilmu, memberi manfaat yang banyak kepada manusia, banyak memiliki karya ilmiah, lebih mengutamakan hal yang ringkas dalam tulisannya dan tidak berpanjang lebar. Aku telah bertemu dan berguru kepadanya, dan membaca banyak dari tulisan-tulisannya di bawah bimbingannya. Aku tidak menjumpai padanya kejumudan, bahkan dia adalah faqih dalam pandangannya, memiliki banyak pengetahuan tentang perkataan-perkataan ulama, madzhab-madzahab para imam salaf dan para pemilik pemikiran.” (al-Wafi bil Wafayat, II:163)


Di Antara Perkataan-Perkataan Beliau


Al-Imam adz-Dzahabi berkata, “Tidak sedikit orang yang memusatkan perhatiannya pada ilmu kalam melainkan ijtihadnya akan membawanya kepada perkataan yang menyelisihi Sunnah. Karena itulah ulama salaf mencela setiap yang belajar ilmu-ilmu para umat sebelum Islam. Ilmu kalam turunan dari ilmu para filosof atheis. Barangsiapa yang sengaja ingin menggabungkan ilmu para nabi dengan ilmu para ahli filsafat dengan mengandalkan kecerdasannya maka pasti dia akan menyelisihi para nabi dan para ahli filsafat. Dan barangsiapa yang berjalan di belakang apa yang dibawa oleh para rasul …..maka sungguh dia telah menempuh jalan salaf dan menyelamatkan agma dan keyakinannya.” (Mizanul I’tidal, III:144)


Beliau menukil perkataan ma’mar, “Dahulu dikatakan bahwa seseorang menuntut ilmu untuk selain Allah maka ilmu itu enggan hingga semata-mata untuk Allah.” Kemudian beliau mengomentari perkataan ma’mar tersebut dengan mengatakan, “Ya, dia awalnya menuntut ilmu atas dorongan kecintaan kepada ilmu, agar menghilangkan kejahilannya, agar mendapat pekerjaan, dan yang semacamnya. Dia belum tahu tentang wajibnya ikhlas dalam menuntutnya dan kebenaran niat di dalamnya. Maka jika sudah mengetahuinya, dia hisab dirinya dan takut terhadap akibat buruk dari niatnya yang keliru, maka datanglah kepada niat yang shahih semuanya atau sebagiannya. Kadang dia bertaubat dari niatnya yang keliru dan menyesal. Tanda atas hal itu ialah bahwasanya dia mengurangi dari klaim-klaim, perdebatan, dan perasaan memiliki ilmu yang banyak, dan dia hinakan dirinya. Adapun jika dia merasa banyak ilmunya atau mengatakan “saya lebih berilmu dari pada Fulan; maka sungguh celakalah dia.” (Siyar A’lamin Nubala’ , VII:17)
Beliau berkata, “Yang dibutuhkan oleh seorang hafizh adalah hendaknya bertakwa, cerdas, mahir Nahwu, mahir ilmu bahasa, memiliki rasa malu dan bermanhaj salaf.” (Siyar, XIII:380)


Beliau berkata, “Ahli hadits sekarang hendaknya memperhatikan kutubs sittah, musnad Ahamd dan Sunan Baihaqi. Dan hendaknya teliti terhadap matan-matan dan sanad-sanadnya, kemudian tidak mengambil manfa’at dari hal itu hingga dia bertakwa kepada Rabbnya dan menjadikan hadits sebagai dasar agama. Kemudian ilmu bukanlah dengan banyak riwayat, tetapi dia adalah cahaya yang Allah pancarkan ke dalam hati dan syaratnya adalah ittiba’ (mengikuti nabi Shallallahu alaihi wassalam-red) dan menjauhkan diri dari hawa nafsu dan kebid’ahan.” (Siyar, XIII:323)


Beliau berkata, “Kebanyakan ulama pada zaman ini terpaku dengan taqlid dalam hal furu’, tidak mau mengembangkan ijtihad, tenggelam dalam logika-logika umat terdahulu dan pemikiran ahli filsafat. Dengan demikian, bencana pun meluas, hawa nafsu menjadi hukum dan tanda-tanda tercabutnya ilmu semakin nampak. Semoga Allah memati seseorang yang mau memperhatikan kondisi dirinya, menjaga ucapannya, selalu membaca al-Qur’an, menangis atas kejadian zaman, memperhatikan kitab ash-Shahihain dan beribadah kepada Allah sebelum ajal datang secara tiba-tiba.” (Tadzki al-Huffazh, II:530)


Karya-Karyanya


Beliau memiliki sekitar 100 karya tulis, di antara karya-karya tulis itu adalah:
a. al-‘Uluww lil ‘Aliyyil Ghaffar
b. Taariikhul Islam
c. Siyar A’laamin Nubalaa’
d. Mukhtashar Tahdziibil Kamaal
e. Miizaanul I’tidaal Fii Naqdir Rijaal
f. Thabaqatul Huffazh
g. Al-Kaasyif Fii Man Lahu Riwaayah Fil Kutubis Sittah
h. Mukhtashar Sunan al-Baihaqi
i. Halaqatul Badr Fii ‘Adadi Ahli Badr
j. Thabaqatul Qurra’
k. Naba’u Dajjal
l. Tahdziibut Tahdziib
m. Tanqiih Ahaadiitsit Ta’liiq
n. Muqtana Fii al-Kuna
o. Al-Mughni Fii adh-Dhu’afaa’
p. Al-‘Ibar Fii Khabari Man Ghabar
q. Talkhiishul Mustadrak
r. Ikhtishar Taarikhil Kathib
s. Al-Kabaair
t. Tahriimul Adbar
u. Tauqif Ahli Taufiq Fi Manaaqibi ash-Shiddiq
v. Ni’mas Smar Fi Manaaqib ‘Umar
w. At-Tibyaan Fi Manaaqib ‘Utsman
x. Fathul Mathalib Fii Akhbaar Ali bin Abi Thalib
y. Ma Ba’dal Maut
z. Ikhtishar Kitaabil Qadar Lil Baihaqi
aa. Nafdhul Ja’bah Fi Akhbaari Syu’bah
bb. Ikhtishar Kitab al-Jihad, ‘Asakir
cc. Mukhtashar athraafil Mizzi
dd. At-Tajriid Fii Asmaa’ ish Shahaabah
ee. Mukhtashar Tariikh Naisabuur, al-Hakim
ff. Mukthashar al-Muhalla dan Tartiil Maudhuu’at, Ibn al-Jauzi


Wafatnya

Ia wafat pada malam Senin, 3 Dzulqa’dah 748 H, di Damaskus, Syiria dan dimakamkan di pekuburan Bab ash-Shaghir.


Sumber: Thabaqah asy-Syafi’iyyah al-Kubra, Tajuddin as-Subki (IX:100-116), Raddul Wafiir, Ibn Nashiruddin ad-Dimasqi, hal.31-32 , Abjadul ‘Ulum, Shiddiq Hasan Khan (III:99-100) ,Dzail Tadzkiratil Huffazh (I:34-37)

Jalan Masuk Surga (7)

Makna Isra' dan Mi'raj

Perjalanan Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Bayt Al-Maqdis, kemudian naik ke Sidrat Al-Muntaha, bahkan melampauinya, serta kembalinya ke Makkah dalam waktu sangat singkat, merupakan tantangan terbesar sesudah Al-Quran disodorkan oleh Tuhan kepada umat manusia. Peristiwa ini membuktikan bahwa 'ilm dan qudrat Tuhan meliputi dan menjangkau, bahkan mengatasi, segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa terbatas waktu atau ruang.

Kaum empirisis dan rasionalis, yang melepaskan diri dari bimbingan wahyu, dapat saja menggugat: Bagaimana mungkin kecepatan, yang bahkan melebihi kecepatan cahaya, kecepatan yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum empat dimensi ini, dapat terjadi? Bagaimana mungkin lingkungan material yang dilalui oleh Muhammad saw. tidak mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang merusak tubuh beliau sendiri? Bagaimana mungkin beliau dapat melepaskan diri dari daya tarik bumi? Ini tidak mungkin terjadi, karena ia tidak sesuai dengan hukum-hukum alam, tidak dapat dijangkau oleh pancaindera, bahkan tidak dapat dibuktikan oleh patokan-patokan logika. Demikian kira-kira kilah mereka yang menolak peristiwa ini.

Memang, pendekatan yang paling tepat untuk memahaminya adalah pendekatan imaniy. Inilah yang ditempuh oleh Abu Bakar AlShiddiq, seperti tergambar dalam ucapannya: "Apabila Muhammad yang memberitakannya, pasti benarlah adanya." Oleh sebab itu, uraian ini berusaha untuk memahami peristiwa tersebut melalui apa yang kita percayai kebenarannya berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang dikemukakan oleh Al-Quran.

Salah satu hal yang menjadi pusat pembahasan Al-Quran adalah masa depan ruhani manusia demi mewujudkan keutuhannya. Uraian Al-Quran tentang Isra' dan Mi'raj merupakan salah satu cara pembuatan skema ruhani tersebut. Hal ini terbukti jelas melalui pengamatan terhadap sistematika dan kandungan Al-Quran, baik dalam bagian-bagiannya yang terbesar maupun dalam ayat-ayatnya yang terinci.

Tujuh bagian pertama Al-Quran membahas pertumbuhan jiwa manusia sebagai pribadi-pribadi yang secara kolektif membentuk umat.

Dalam bagian kedelapan sampai keempat belas, Al-Quran menekankan pembangunan manusia seutuhnya serta pembangunan masyarakat dan konsolidasinya. Tema bagian kelima belas mencapai klimaksnya dan tergambar pada pribadi yang telah mencapai tingkat tertinggi dari manusia seutuhnya, yakni al-insan al-kamil. Dan karena itu, peristiwa Isra' dan Mi'raj merupakan awal bagian ini, dan berkelanjutan hingga bagian kedua puluh satu, di mana kisah para rasul diuraikan dari sisi pandangan tersebut. Kemudian, masalah perkembangan ruhani manusia secara orang per orang diuraikan lebih lanjut sampai bagian ketiga puluh, dengan penjelasan tentang hubungan perkembangan tersebut dengan kehidupan masyarakat secara timbal-balik.

Kemudian, kalau kita melihat cakupan lebih kecil, maka ilmuwan-ilmuwan Al-Quran, sebagaimana ilmuwan-ilmuwan pelbagai disiplin ilmu, menyatakan bahwa segala sesuatu memiliki pendahuluan yang mengantar atau menyebabkannya. Imam Al-Suyuthi berpendapat bahwa pengantar satu uraian dalam Al-Quran adalah uraian yang terdapat dalam surat sebelumnya.204 Sedangkan inti uraian satu surat dipahami dari nama surat tersebut, seperti dikatakan oleh Al-Biqai'i.205 Dengan demikian, maka pengantar uraian peristiwa Isra' adalah surat yang dinamai Tuhan dengan sebutan Al-Nahl, yang berarti lebah.

Mengapa lebah? Karena makhluk ini memiliki banyak keajaiban. Keajaibannya itu bukan hanya terlihat pada jenisnya, yang jantan dan betina, tetapi juga jenis yang bukan jantan dan bukan betina. Keajaibannya juga tidak hanya terlihat pada sarang-sarangnya yang tersusun dalam bentuk lubang-lubang yang sama bersegi enam dan diselubungi oleh selaput yang sangat halus menghalangi udara atau bakteri menyusup ke dalamnya, juga tidak hanya terletak pada khasiat madu yang dihasilkannya, yang menjadi makanan dan obat bagi sekian banyak penyakit. Keajaiban lebah mencakup itu semua, dan mencakup pula sistem kehidupannya yang penuh disiplin dan dedikasi di bawah pimpinan seekor "ratu". Lebah yang berstatus ratu ini pun memiliki keajaiban dan keistimewaan. Misalnya, bahwa sang ratu ini, karena rasa "malu" yang dimiliki dan dipeliharanya, telah menjadikannya enggan untuk mengadakan hubungan seksual dengan salah satu anggota masyarakatnya yang jumlahnya dapat mencapai sekitar tiga puluh ribu ekor. Di samping itu, keajaiban lebah juga tampak pada bentuk bahasa dan cara mereka berkomunikasi, yang dalam hal ini telah dipelajari secara mendalam oleh seorang ilmuwan Austria, Karl Van Fritch.

Lebah dipilih Tuhan untuk menggambarkan keajaiban ciptaan-Nya agar menjadi pengantar keajaiban perbuatan-Nya dalam peristiwa Isra' dan Mi'raj. Lebah juga dipilih sebagai pengantar bagi bagian yang menjelaskan manusia seutuhnya. Karena manusia seutuhnya, manusia mukmin, menurut Rasul, adalah "bagaikan lebah, tidak makan kecuali yang baik dan indah, seperti kembang yang semerbak; tidak menghasilkan sesuatu kecuali yang baik dan berguna, seperti madu yang dihasilkan lebah itu."

Dalam cakupan yang lebih kecil lagi, kita melontarkan pandangan kepada ayat pertama surat pengantar tersebut. Di sini Allah berfirman: Telah datang ketetapan Allah (Hari Kiamat). Oleh sebab itu janganlah kamu meminta agar disegerakan datangnya.

Dunia belum kiamat, mengapa Allah mengatakan kiamat telah datang? Al-Quran menyatakan "telah datang ketetapan Allah," mengapa dinyatakan-Nya juga "jangan meminta agar disegerakan datangnya"? Ini untuk memberi isyarat sekaligus pengantar bahwa Tuhan tidak mengenal waktu untuk mewujudkan sesuatu. Hari ini, esok, juga kemarin, adalah perhitungan manusia, perhitungan makhluk. Tuhan sama sekali tidak terikat kepadanya, sebab adalah Dia yang menguasai masa. Karenanya Dia tidak membutuhkan batasan untuk mewujudkan sesuatu. Dan hal ini ditegaskan-Nya dalam surat pengantar ini dengan kalimat: Maka perkataan Kami kepada sesuatu, apabila Kami menghendakinya, Kami hanya menyatakan kepadanya "kun" (jadilah), maka jadilah ia (QS 16:40).

Di sini terdapat dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, kenyataan ilmiah menunjukkan bahwa setiap sistem gerak mempunyai perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem gerak yang lain. Benda padat membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan suara. Suara pun membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan cahaya. Hal ini mengantarkan para ilmuwan, filosof, dan agamawan untuk berkesimpulan bahwa, pada akhirnya, ada sesuatu yang tidak membutuhkan waktu untuk mencapai sasaran apa pun yang dikehendaki-Nya. Sesuatu itulah yang kita namakan Allah SWT, Tuhan Yang Mahaesa.

Kedua, segala sesuatu, menurut ilmuwan, juga menurut Al-Quran, mempunyai sebab-sebab. Tetapi, apakah sebab-sebab tersebut yang mewujudkan sesuatu itu? Menurut ilmuwan, tidak. Demikian juga menurut Al-Quran. Apa yang diketahui oleh ilmuwan secara pasti hanyalah sebab yang mendahului atau berbarengan dengan terjadinya sesuatu. Bila dinyatakan bahwa sebab itulah yang mewujudkan dan menciptakan sesuatu, muncul sederet keberatan ilmiah dan filosofis.

Bahwa sebab mendahului sesuatu, itu benar. Namun kedahuluan ini tidaklah dapat dijadikan dasar bahwa ialah yang mewujudkannya. "Cahaya yang terlihat sebelum terdengar suatu dentuman meriam bukanlah penyebab suara tersebut dan bukan pula penyebab telontarnya peluru," kata David Hume. "Ayam yang selalu berkokok sebelum terbit fajar bukanlah penyebab terbitnya fajar," kata Al-Ghazali jauh sebelum David Hume lahir. "Bergeraknya sesuatu dari A ke B, kemudian dari B ke C, dan dari C ke D, tidaklah dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa pergerakannya dari B ke C adalah akibat pergerakannya dari A ke B," demikian kata Isaac Newton, sang penemu gaya gravitasi.

Kalau demikian, apa yang dinamakan hukum-hukum alam tiada lain kecuali "a summary o f statistical averages" (ikhtisar dari rerata statistik). Sehingga, sebagaimana dinyatakan oleh Pierce, ahli ilmu alam, apa yang kita namakan "kebetulan" dewasa ini, adalah mungkin merupakan suatu proses terjadinya suatu kebiasaan atau hukum alam. Bahkan Einstein, lebih tegas lagi, menyatakan bahwa semua apa yang terjadi diwujudkan oleh "superior reasoning power" (kekuatan nalar yang superior). Atau, menurut bahasa Al-Quran, "Al-'Aziz Al-'Alim", Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. Inilah yang ditegaskan oleh Tuhan dalam surat pengantar peristiwa Isra' dan Mi'raj itu dengan firman-Nya: Kepada Allah saja tunduk segala apa yang di langit dan di bumi, termasuk binatang-binatang melata, juga malaikat, sedangkan mereka tidak menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka) (QS 16:49-50).

Pengantar berikutnya yang Tuhan berikan adalah: Janganlah meminta untuk tergesa-gesa. Sayangnya, manusia bertabiat tergesa-gesa, seperti ditegaskan Tuhan ketika menceritakan peristiwa Isra' ini, Adalah manusia bertabiat tergesa-gesa (QS 17:11). Ketergesa-gesaan inilah yang antara lain menjadikannya tidak dapat membedakan antara: (a) yang mustahil menurut akal dengan yang mustahil menurut kebiasaan, (b) yang bertentangan dengan akal dengan yang tidak atau belum dimengerti oleh akal, dan (c) yang rasional dan irasional dengan yang suprarasional.

Dari segi lain, dalam kumpulan ayat-ayat yang mengantarkan uraian Al-Quran tentang peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, dalam surat Isra' sendiri, berulang kali ditegaskan tentang keterbatasan pengetahuan manusia serta sikap yang harus diambilnya menyangkut keterbatasan tersebut. Simaklah ayat-ayat berikut: Dia (Allah) menciptakan apa-apa (makhluk) yang kamu tidak mengetahuinya (QS 16:8); Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (QS 16:74); dan Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan kecuali sedikit (QS 17:85); dan banyak lagi lainnya. Itulah sebabnya, ditegaskan oleh Allah dengan firman-Nya: Dan janganlah kamu mengambil satu sikap (baik berupa ucapan maupun tindakan) yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang hal tersebut; karena sesungguhnya pendengaran, mata, dan hati, kesemuanya itu kelak akan dimintai pertanggungjawaban (QS 17:36).

Apa yang ditegaskan oleh Al-Quran tentang keterbatasan pengetahuan manusia ini diakui oleh para ilmuwan pada abad ke-20. Schwart, seorang pakar matematika kenamaan Prancis, menyatakan: "Fisika abad ke-19 berbangga diri dengan kemampuannya menghakimi segenap problem kehidupan, bahkan sampai kepada sajak pun. Sedangkan fisika abad ke-20 ini yakin benar bahwa ia tidak sepenuhnya tahu segalanya, walaupun yang disebut materi sekalipun." Sementara itu, teori Black Holes menyatakan bahwa "pengetahuan manusia tentang alam hanyalah mencapai 3% saja, sedang 97% selebihnya di luar kemampuan manusia."

Kalau demikian, seandainya, sekali lagi seandainya, pengetahuan seseorang belum atau tidak sampai pada pemahaman secara ilmiah atas peristiwa Isra' dan Mi'raj ini; kalau betul demikian adanya dan sampai saat ini masih juga demikian, maka tentunya usaha atau tuntutan untuk membuktikannya secara "ilmiah" menjadi tidak ilmiah lagi. Ini tampak semakin jelas jika diingat bahwa asas filosofis dari ilmu pengetahuan adalah trial and error, yakni observasi dan eksperimentasi terhadap fenomena-fenomena alam yang berlaku di setiap tempat dan waktu, oleh siapa saja. Padahal, peristiwa Isra' dan Mi'raj hanya terjadi sekali saja. Artinya, terhadapnya tidak dapat dicoba, diamati dan dilakukan eksperimentasi.

Itulah sebabnya mengapa Kierkegaard, tokoh eksistensialisme, menyatakan: "Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, tetapi karena ia tidak tahu." Dan itu pula sebabnya, mengapa Immanuel Kant berkata: "Saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah demi menyediakan waktu bagi hatiku untuk percaya." Dan itu pulalah sebabnya mengapa "oleh-oleh" yang dibawa Rasul dari perjalanan Isra' dan Mi'raj ini adalah kewajiban shalat; sebab shalat merupakan sarana terpenting guna menyucikan jiwa dan memelihara ruhani.

Kita percaya kepada Isra' dan Mi'raj, karena tiada perbedaan antara peristiwa yang terjadi sekali dan peristiwa yang terjadi berulang kali selama semua itu diciptakan serta berada di bawah kekuasaan dan pengaturan Tuhan Yang Mahaesa.

Sebelum Al-Quran mengakhiri pengantarnya tentang peristiwa ini, dan sebelum diungkapnya peristiwa ini, digambarkannya bagaimana kelak orang-orang yang tidak mempercayainya dan bagaimana pula sikap yang harus diambilnya. Allah berfirman: Bersabarlah wahai Muhammad; tiadalah kesabaranmu melainkan dengan pertolongan Allah. Janganlah kamu bersedih hati terhadap (keingkaran) mereka. Jangan pula kamu bersempit dada terhadap apa-apa yang mereka tipudayakan. Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang orang yang berbuat kebajikan. (QS 16:127-128). Inilah pengantar Al-Quran yang disampaikan sebelum diceritakannya peristiwa Isra' dan Mi'raj.

Agaknya, yang lebih wajar untuk dipertanyakan bukannya bagaimana Isra' dan Mi 'raj terjadi, tetapi mengapa Isra' dan Mi 'raj.

Seperti yang telah dikemukakan pada awal uraian, Al-Quran, pada bagian kedelapan sampai bagian kelima belas, menguraikan dan menekankan pentingnya pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat beserta konsolidasinya. Ini mencapai klimaksnya pada bagian kelima belas atau surat ketujuh belas, yang tergambar pada pribadi hamba Allah yang di-isra'-kan ini, yaitu Muhammad saw., serta nilai-nilai yang diterapkannya dalam masyarakat beliau. Karena itu, dalam kelompok ayat yang menceritakan peristiwa ini (dalam surat Al-Isra'), ditemukan sekian banyak petunjuk untuk membina diri dan membangun masyarakat.

Pertama, ditemukan petunjuk untuk melaksanakan shalat lima waktu (pada ayat 78). Dan shalat ini pulalah yang merupakan inti dari peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, karena shalat pada hakikatnya merupakan kebutuhan mutlak untuk mewujudkan manusia seutuhnya, kebutuhan akal pikiran dan jiwa manusia, sebagaimana ia merupakan kebutuhan untuk mewujudkan masyarakat yang diharapkan oleh manusia seutuhnya. Shalat dibutuhkan oleh pikiran dan akal manusia, karena ia merupakan pengejawantahan dari hubungannya dengan Tuhan, hubungan yang menggambarkan pengetahuannya tentang tata kerja alam raya ini, yang berjalan di bawah satu kesatuan sistem. Shalat juga menggambarkan tata inteligensia semesta yang total, yang sepenuhnya diawasi dan dikendalikan oleh suatu kekuatan Yang Mahadahsyat dan Maha Mengetahui, Tuhan Yang Mahaesa. Dan bila demikian, maka tidaklah keliru bila dikatakan bahwa semakin mendalam pengetahuan seseorang tentang tata kerja alam raya ini, akan semakin tekun dan khusyuk pula ia melaksanakan shalatnya.

Shalat juga merupakan kebutuhan jiwa. Karena, tidak seorang pun dalam perjalanan hidupnya yang tidak pernah mengharap atau merasa cemas. Hingga, pada akhirnya, sadar atau tidak, ia menyampaikan harapan dan keluhannya kepada Dia Yang Mahakuasa. Dan tentunya merupakan tanda kebejatan akhlak dan kerendahan moral, apabila seseorang datang menghadapkan dirinya kepada Tuhan hanya pada saat dirinya didesak oleh kebutuhannya.

Shalat juga dibutuhkan oleh masyarakat manusia, karena shalat, dalam pengertiannya yang luas, merupakan dasar-dasar pembangunan. Orang Romawi Kuno mencapai puncak keahlian dalam bidang arsitektur, yang hingga kini tetap mengagumkan para ahli, juga karena adanya dorongan tersebut. Karena itu, Alexis Carrel menyatakan: "Apabila pengabdian, shalat, dan doa yang tulus kepada Sang Maha Pencipta disingkirkan dari tengah kehidupan bermasyarakat, maka hal itu berarti kita telah menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat tersebut." Dan, untuk diingat, Alexis Carrel bukanlah seorang yang memiliki latar belakang pendidikan agama. Ia adalah seorang dokter yang telah dua kali menerima hadiah Nobel atas hasil penelitiannya terhadap jantung burung gereja serta pencangkokannya. Dan, menurut Larouse Dictionary, Alexis Carrel dinyatakan sebagai satu pribadi yang pemikiran-pemikirannya secara mendasar akan berpengaruh pada penghujung abad XX ini.

Apa yang dinyatakan ilmuwan ini sejalan dengan penegasan Al-Quran yang ditemukan dalam pengantar uraiannya tentang peristiwa Isra' dalam surat Al-Nahl ayat 26. Di situ digambarkan pembangkangan satu kelompok masyarakat terhadap petunjuk Tuhan dan nasib mereka menurut ayat tersebut: Allah menghancurkan bangunan-bangunan mereka dari fondasinya, lalu atap bangunan itu menimpa mereka dari atas; dan datanglah siksaan kepada mereka dari arah yang mereka tidak duga (QS 16:26).

Kedua, petunjuk-petunjuk lain yang ditemukan dalam rangkaian ayat-ayat yang menjelaskan peristiwa Isra' dan Mi'raj, dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat adil dan makmur, antara lain adalah: Jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mereka menaati Allah untuk hidup dalam kesederhanaan), tetapi mereka durhaka; maka sudah sepantasnyalah berlaku terhadap mereka ketetapan Kami dan Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya (QS 17:16).

Ditekankan dalam surat ini bahwa "Sesungguhnya orang yang hidup berlebihan adalah saudara-saudara setan" (QS 17:27).

Dan karenanya, hendaklah setiap orang hidup dalam kesederhanaan dan keseimbangan: Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu (pada lehermu dan sebaliknya), jangan pula kamu terlalu mengulurkannya, agar kamu tidak menjadi tercela dan menyesal (QS 17:29).

Bahkan, kesederhanaan yang dituntut bukan hanya dalam bidang ekonomi saja, tetapi juga dalam bidang ibadah. Kesederhanaan dalam ibadah shalat misalnya, tidak hanya tergambar dari adanya pengurangan jumlah shalat dari lima puluh menjadi lima kali sehari, tetapi juga tergambar dalam petunjuk yang ditemukan di surat Al-Isra' ini juga, yakni yang berkenaan dengan suara ketika dilaksanakan shalat: Janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula merendahkannya, tetapi carilah jalan tengah di antara keduanya (QS 17: 110).

Jalan tengah di antara keduanya ini berguna untuk dapat mencapai konsentrasi, pemahaman bacaan dan kekhusyukan. Di saat yang sama, shalat yang dilaksanakan dengan "jalan tengah" itu tidak mengakibatkan gangguan atau mengundang gangguan, baik gangguan tersebut kepada saudara sesama Muslim atau non-Muslim, yang mungkin sedang belajar, berzikir, atau mungkin sedang sakit, ataupun bayi-bayi yang sedang tidur nyenyak. Mengapa demikian? Karena, dalam kandungan ayat yang menceritakan peristiwa ini, Tuhan menekankan pentingnya persatuan masyarakat seluruhnya. Dengan demikian, masing-masing orang dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya, sesuai dengan kemampuan dan bidangnya, tanpa mempersoalkan agama, keyakinan, dan keimanan orang lain. Ini sesuai dengan firman Allah:

Katakanlah wahai Muhammad, "Hendaklah tiap-tiap orang berkarya menurut bidang dan kemampuannya masing-masing." Tuhan lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya (QS 17:84).

Akhirnya, sebelum uraian ini disudahi, ada baiknya dibacakan ayat terakhir dalam surat yang menceritakan peristiwa Isra' dan Mi'raj ini: Katakanlah wahai Muhammad: "Percayalah kamu atau tidak usah percaya (keduanya sama bagi Tuhan)." Tetapi sesungguhnya mereka yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila disampaikan kepada mereka, maka mereka menyungkur atas muka mereka, sambil bersujud (QS 17: 107).

Itulah sebagian kecil dari petunjuk dan kesan yang dapat kami pahami, masing-masing dari surat pengantar uraian peristiwa Isra ; yakni surat Al-Nahl, dan surat Al-Isra' sendiri. Khusus dalam pemahaman tentang peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, semoga kita mampu menangkap gejala dan menyuarakan keyakinan tentang adanya ruh intelektualitas Yang Mahaagung, Tuhan Yang Mahaesa di alam semesta ini, serta mampu merumuskan kebutuhan umat manusia untuk memujaNya sekaligus mengabdi kepada-Nya.

Catatan kaki

204 Lihat bukunya, Asrar Tartib Al-Qur'an.

205 Lihat dalam pengantar untuk bukunya, Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar.



Sumber:http://media.isnet.org

Jalan Masuk Surga (8)

Kaum Muslimin yang berbahagia, tamu yang agung telah datang mengunjungi kita, dia datang hanya sekali dalam setahun, dia senantiasa ditunggu-tunggu oleh hamba-hamba-Nya yang mukmin, yang kedatangannya akan menenangkan jiwa-jiwa manusia, yang kedatangannya akan membawa berkah dari Rabb semesta alam, dan kedatangannya penuh dengan kemuliaan dan keutamaan. Anda semua telah mengenalnya wahai kaum muslimin yang berbahagia, dia tiada lain dan tiada bukan adalah bulan Ramadhan.

Dialah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, bulan yang syaithan-syaithan dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup dan pintu-pintu surga dibuka, serta dialah bulan yang di dalamnya terdapat Lailatul Qodar, yang apabila seorang hamba beribadah di malam itu lebih baik dari seribu bulan. Segala puji bagi Alloh yang telah mengizinkan kita semua bersua dengan bulan ini.

Wahai kaum muslimin, marilah kita jadikan bulan ramadhan kita ini sebagai bulan terakhir kita, seakan-akan kita tidak akan menjumpainya lagi tahun depan. Marilah kita isi bulan ini dengan amalan-amalan yang berguna, karena Nabi yang mulia ‘alaihi Sholatu wa Salam telah bersabda :

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ (صحيح, رواه أحمد وابن ماجه و الدارمي والبيهقي عن سعيد المقبري عن أبي هريرة)

“Berapa banyak orang yang berpuasa namun hanya mendapatkan rasa haus dan lapar belaka.” (Shohih, diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah, Ad-Darimi dan Al-Baihaqi dari Abu Sa’id Al-Maqburi dari Abu Hurairoh).

Sungguh benar sabda nabi di atas karena beginilah mayoritas kaum muslimin saat ini, yang perutnya berpuasa dari makan dan minum, namun matanya, telinganya, lisannya dan hatinya tidak turut berpuasa. Mereka masih gemar berkata kotor, berdusta, mencaci maki, memandang yang haram, mendengarkan yang haram dan perbuatan-perbuatan maksiat lainnya.

Wahai kaum muslimin yang berbahagia, sungguh indah ucapan Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqolani rahimahullahu yang berkata di dalam Fathul Bari (I/31) : “Bulan ramadhan adalah musim kebajikan, dikarenakan nikmat Alloh atas hamba-hambanya di bulan ini berlipat ganda dibanding bulan-bulan lainnya.” Oleh karena itu wahai kaum muslimin, beginilah seharusnya seorang mukmin itu di dalam bulan ramadhan :

Pertama, Berpuasa.
Ini merupakan kewajiban dan termasuk bagian rukun Islam. Makna berpuasa adalah menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkannya mulai dari waktu terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari.
Wahai hamba Alloh, sungguh besar sekali ganjaran orang yang melakukan puasa, sebagaimana dalam sabda nabi :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَبًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبْهِ (متّفق عليه)

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala maka niscaya diampuni dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq ‘alaihi).
Di dalam hadits-hadits lainnya yang shohih, sangat besar sekali keutamaan orang yang berpuasa, diantaranya adalah :

  • puasa itu adalah perisai
  • Puasa dapat memasukkan seorang hamba ke dalam surga
  • Orang yang berpuasa akan diberi pahala yang tak terhitung
  • Orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan yaitu gembira ketika berbuka dan gembira ketika bertemu Alloh
  • Bau mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi dari kesturi
  • Puasa akan memberikan syafa’at bagi pelakunya
  • Puasa dapat menjadi penebus segala dosa-dosanya, dan
  • Bagi orang yang berpuasa dijanjikan masuk surga melalui pintu yang bernama ar-Royyan. Maha suci Alloh yang telah menjadikan kita sebagai orang-orang yang berpuasa.

Kedua, Qiyamul lail (Sholat Tarawih berjama’ah).
Termasuk sunnah Nabi yang mulia adalah melaksanakan sholat tarawih berjama’ah, menghidupkan malam-malam ramadhan bersama-sama kaum muslimin lainnya, sehingga dapat lebih mengikat tali persaudaraan dan silaturrahim, membuahkan rasa cinta dan itsar (memiliki kepedulian) terhadap saudara muslim sehingga dapat menyuburkan benih-benih persatuan Islam.
Rasulullah Shollollohu ‘alaihi wa Salam bersabda :

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَبًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ - متّفق عليه

“Barangsiapa sholat malam pada bulan ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala maka niscaya diampuni dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq ‘alaihi).

Ketiga, Memperbanyak sedekah.

Sesungguhnya Nabi yang mulia ‘alaihi sholatu wa salam adalah orang yang paling gemar bersedekah terutama di bulan ramadhan. Demikian pula para sahabat beliau dan para salaful ummah.

Keempat, Memberi makan untuk berbuka bagi orang yang berpuasa.
Nabi Shollollohu ‘alaihi wa Salam sangat menganjurkan untuk memberi makan kepada orang yang berpuasa, karena yang demikian ini mengandung pahala yang besar dan kebaikan yang berlimpah. Rasulullah Shollollohu ‘alaihi wa Salam bersabda :

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَائِمِ شَيْئًا - رواه أحمد و الترمذي

“Barangsiapa memberi makan kepada orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti yang diperoleh orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikitpun.” (HR Ahmad dan Turmudzi)

Kelima, Membaca Al-Qur’an
Bulan Ramadhan adalah bulan Al-Qur’an, di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagaimana dalam firman Alloh Ta’ala :

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ القُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الهُدَى وَالفُرْقَانِ

“Bulan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil).” (QS Al-Baqoroh : 185)
Bahkan Jibril ‘alahi Salam setiap malam datang mengajarkan Al-Qur’an kepada Nabi. Sungguh, Al-Qur’an akan menjadi pemberi syafa’at pada hari kiamat bagi para pembacanya, sebagaimana sabda Nabi Shollollohu ‘alaihi wa Salam :

اِقْرَأُوا القُرْآنَ فََإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ القِيَامَةِ شَفِيْعًا لأَصْحَابِهِ - رواه مسلم عن أبي أمامة

“Bacalah Al-Qur’an, karena ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at bagi pembacanya.” (HR Muslim dari Abu Umamah)

Keenam, Umroh
Umroh pada bulan Ramadhan sangat besar sekali keutamaanya, sebagaimana sabda Nabi yang mulia alaihi Sholatu wa Salam :

عُمْرَةُ فِيْ رَمَضَانَ تَعْدِلُ حَجَّةً مَعِيْ - متفق عليه

“Berumroh pada bulan Ramadhan sepadan dengan haji bersamaku” (Muttafaq ‘alaihi) baik pada awal maupun pertengahan Ramadhan. Tidak ada pengkhususan tentang lebih utamanya sepuluh hari akhir di dalam berumroh. Maka hendaknya hal ini diperhatikan.

Ketujuh, Mencari malam Lailatul Qodar.
Sesungguhnya beribadah pada malam Lailatul Qodar pahalanya sama dengan beribadah selama seribu bulan. Maka hendaknya seorang muslim harus bersegera menyingsingkan lengan bajunya untuk menyambut malam yang penuh berkah ini. Karena Nabi yang mulia ‘alaihi Sholatu wa Salam bersabda :

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ القَدَرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَبًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبْهِ- متّفق عليه

“Barangsiapa sholat pada malam Lailatul Qodar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala maka niscaya diampuni dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq ‘alaihi) Yaitu pada malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir.
Wahai hamba Alloh apabila seorang hamba beribadah pada malam Lailatul Qodar, maka hendaknya dia mengucapkan :

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌ تُحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي - رواه الترمذي وابن ماجه

“Ya Alloh sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan Mencintai Ma’af maka berikanlah Ma’af padaku” (HR Turmudzi dan Ibnu Majah)

Kedelapan, I’tikaf.
I’tikaf merupakan ibadah kholwat (menyendiri) dengan Alloh, menyibukkan diri hanya kepada Alloh dan memutuskan diri dari hiruk pikuk duniawi. Setiap keinginan dan detak hatinya hanya tertuju kepada Alloh dan segala kesibukannya hanyalah untuk Alloh semata. Rasulullah Shollollohu ‘alaihi wa Salam tidak pernah meninggalkan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan, bahkan pada tahun dimana beliau wafat, beliau melakukan I’tikaf selama dua puluh hari.

Wahai hamba Alloh, perhatikanlah tauladan kita Rasulullah dan para sahabatnya. Tatkala di penghujung bulan Ramadhan mayoritas masyarakat muslim bersibuk ria dengan pakaian, makanan dan urusan duniawi dalam rangka menyambut Iedul Fitri, namun tauladan dan kecintaan kita beri’tikaf di Masjid, lebih berkonsentrasi di dalam beribadah kepada Alloh, melepaskan urusan duniawinya dan lebih menyibukkan diri dengan ketaatan kepada Alloh. Maha Besar Alloh, padahal beliau adalah orang yang telah dijanjikan surga oleh Alloh, dan segala dosanya yang telah lalu dan akan datang diampuni oleh Allah Al-Ghofur, namun keteladanan beliau benar-benar menunjukkan akhlak yang agung, yang tiada tandingan dan bandingannya. Subhanalloh.

Beberapa kesalahan dan bid’ah pada Bulan Ramadhan.
Wahai hamba Alloh, teladan kita adalah Rasulullah Muhammad Shollollohu ‘alaihi wa Salam dan tiada seorangpun yang lebih layak kita teladani melainkan hanya beliau. Oleh karena itu, segala amalan yang tidak dituntunkan oleh beliau dan diajarkan beliau, maka perkara tersebut adalah tertolak dan wajib kita hindari. Diantara kesalahan-kesalahan tersebut adalah :

  • Mempercepat waktu sahur dan memperlambat berbuka puasa.
  • Menahan diri dari makan dan minum selama beberapa saat sebelum datang waktu subuh yang mereka sebut sebagai waktu imsak.
  • Memuntahkan makanan dan minuman dari mulut ketika terdengar adzan.
  • Melafazhkan atau mengucapkan niat berpuasa.
  • Mempercepat sholat tarawih dan tidak adanya thuma’ninah di saat sholat tarawih.
  • Membaca sholawat ataupun ucapan selainnya semisal, Shollu sunnata tarawih rak’ataini jami’aa rahimakumullahu!!! atau selainnya setiap jeda sholat tarawih. Yang demikian ini tidak ada sunnahnya dari nabi dan termasuk bid’ah yang jelek di dalam agama.
  • Mengkhususkan sholat tasbih di bulan Ramadhan.
  • Membaca do’a secara berjama’ah setiap setelah sholat tarawih.
  • Menentukan surat-surat tertentu pada tiap-tiap roka’at sholat tarawih.
  • Beranggapan bahwa memotong kuku, membersihkan telinga atau keramas pada siang hari membatalkan puasa.

Dan selainnya yang tidak pernah dituntunkan oleh Nabi yang mulia Shollollohu ‘alaihi wa Salam.

Demikianlah secuil pembahasan mengenai bagaimana seharusnya seorang muslim di bulan Ramadhan. semoga yang sederhana ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua, dan semoga Alloh Subhanahu wa Ta’ala menganugerahkan kita kesehatan dan kekuatan sehingga kita mampu melaksanakan apa yang diperintahkan Alloh dan Rasul-Nya, dan semoga Alloh masih memberi kita kesempatan untuk bertemu bulan Ramadhan berikutn ya. Semoga segala amalan kita diterima oleh Alloh Azza wa Jalla dan segala dosa kita diampuni. Amin Ya Robbal Alamin.

Jalan Masuk Surga (9)

AH, Yang Pentingkan Hatinya!!!!

Banyak syubhat di lontarkan kepada kaum muslimah yang ingin berjilbab. Syubhat yang ‘ngetrend’ dan biasa kita dengar adalah ”Buat apa berjilbab kalau hati kita belum siap, belum bersih, masih suka ‘ngerumpi’ berbuat maksiat dan dosa-dosa lainnya, percuma dong pake jilbab! Yang penting kan hati! lalu tercenunglah saudari kita ini membenarkan pendapat kawannya.

Syubhat lainnya lagi adalah ”Liat tuh kan ada hadits yang berbunyi: Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk(rupa) kalian tapi Allah melihat pada hati kalian..!. Jadi yang wajib adalah hati, menghijabi hati kalau hati kita baik maka baik pula keislaman kita walau kita tidak berkerudung!. Benarkah demikian ya ukhti,, ??

Saudariku muslimah semoga Allah merahmatimu, siapapun yang berfikiran dan berpendapat demikian maka wajiblah baginya untuk bertaubat kepada Allah Ta’ala memohon ampun atas kejahilannya dalam memahami syariat yang mulia ini. Jika agama hanya berlandaskan pada akal dan perasaan maka rusaklah agama ini. Bila agama hanya didasarkan kepada orang-orang yang hatinya baik dan suci, maka tengoklah disekitar kita ada orang-orang yang beragama Nasrani, Hindu atau Budha dan orang kafir lainnya liatlah dengan seksama ada diantara mereka yang sangat baik hatinya, lemah lembut, dermawan, bijaksana. Apakah anda setuju untuk mengatakan mereka adalah muslim? Tentu akal anda akan mengatakan “tentu tidak! karena mereka tidak mengucapkan syahadatain, mereka tidak memeluk islam, perbuatan mereka menunjukkan mereka bukan orang islam. Tentu anda akan sependapat dengan saya bahwa kita menghukumi seseorang berdasarkan perbuatan yang nampak(zahir) dalam diri orang itu.

Lalu bagaimana pendapatmu ketika anda melihat seorang wanita di jalan berjalan tanpa jilbab, apakah anda bisa menebak wanita itu muslimah ataukah tidak? Sulit untuk menduga jawabannya karena secara lahir (dzahir) ia sama dengan wanita non muslimah lainnya.Ada kaidah ushul fiqih yang mengatakan “alhukmu ala dzawahir amma al bawathin fahukmuhu “ala llah’ artinya hukum itu dilandaskan atas sesuatu yang nampak adapun yang batin hukumnya adalah terserah Allah.

Rasanya tidak ada yang bisa menyangsikan kesucian hati ummahatul mukminin (istri-istri Rasulullah shalallahu alaihi wassalam) begitupula istri-istri sahabat nabi yang mulia (shahabiyaat). Mereka adalah wanita yang paling baik hatinya, paling bersih, paling suci dan mulia. Tapi mengapa ketika ayat hijab turun agar mereka berjilbab dengan sempurna (lihat QS: 24 ayat 31 dan QS: 33 ayat 59) tak ada satupun riwayat termaktub mereka menolak perintah Allah Ta’ala. Justru yang kita dapati mereka merobek tirai mereka lalu mereka jadikan kerudung sebagai bukti ketaatan mereka. Apa yang ingin anda katakan? Sedangkan mengenai hadits diatas, banyak diantara saudara kita yang tidak mengetahui bahwa hadits diatas ada sambungannya. Lengkapnya adalah sebagai berikut:

“Dari Abu Hurairah, Abdurrahman bin Sakhr radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk tubuh-tubuh kalian dan tidak juga kepada bentuk rupa-rupa kalian, tetapi Dia melihat hati-hati kalian “(HR. Muslim 2564/33).

Hadits diatas ada sambungannya yaitu pada nomor hadits 34 sebagai berikut:

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa kalian dan juga harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan perbuatan kalian. (HR.Muslim 2564/34).

Semua adalah seiring dan sejalan, hati dan amal. Apabila hanya hati yang diutamakan niscaya akan hilanglah sebagian syariat yang mulia ini. Tentu kaum muslimin tidak perlu bersusah payah menunaikan shalat 5 waktu, berpuasa dibulan Ramadhan, membayar dzakat dan sedekah atau bersusah payah menghabiskan harta dan tenaga untuk menunaikan ibadah haji ketanah suci Mekah atau amal ibadah lainnya. Tentu para sahabat tidak akan berlomba-lomba dalam beramal (beribadah) cukup mengandalkan hati saja, toh mereka adalah sebaik-baik manusia diatas muka bumi ini. Akan tetapi justru sebaliknya mereka adalah orang yang sangat giat beramal tengoklah satu kisah indah diantara kisah-kisah indah lainnya. Urwah bin Zubair Radhiyallahu anhu misalnya, Ayahnya adalah Zubair bin Awwam, Ibunya adalah Asma binti Abu Bakar, Kakeknya Urwah adalah Abu Bakar Ash-Shidik, bibinya adalah Aisyah Radhiyallahu anha istri Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam. Urwah lahir dari nasab dan keturunan yang mulia jangan ditanya tentang hatinya, ia adalah orang yang paling lembut hatinya toh masih bersusah payah giat beramal, bersedekah dan ketika shalat ia bagaikan sebatang pohon yang tegak tidak bergeming karena lamanya ia berdiri ketika shalat. Aduhai,..betapa lalainya kita ini,..banyak memanjangkan angan-angan dan harapan padahal hati kita tentu sangat jauh suci dan mulianya dibandingkan dengan generasi pendahulu kita. Wallahu’alam bish-shawwab.
“Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku, bagi mereka mimbar-mimbar dari cahaya yang membuat cemburu para Nabi dan syuhada.” [8]


4. Orang-orang yang saling mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah orang-orang yang tidak ada rasa takut atas mereka dan mereka tidak akan bersedih.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, artinya:

“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada yang bukan Nabi, tetapi para Nabi dan syuhada merasa cemburu terhadap mereka. Ditanyakan: ‘Siapakah mereka? Semoga kami dapat mencintai mereka.’ Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena cahaya Allah tanpa ada hubungan keluarga dan nasab di antara mereka. Wajah-wajah mereka bagaikan cahaya di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Mereka tidak takut di saat manusia takut dan mereka tidak bersedih di saat manusia bersedih.’ Kemudian beliau membacakan ayat :

“Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus: 62)” [9]

5. Cinta karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebabkan seseorang meraih kelezatan iman.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya:

“Barang siapa yang ingin meraih kelezatan iman hendaklah ia mencintai seseorang hanya karena Allah.” [10]

6. Cinta dan benci karena Allah merupakan bukti kesempurnaan iman.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya:

“Barang siapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah dan menahan (tidak memberi) karena Allah, sungguh ia telah menyempurnakan keimanan.” [11]

7. Cinta karena Allah merupakan jalan menuju Surga.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya:

“Kalian tidak akan masuk Surga hingga beriman. Dan kalian tidak akan beriman hingga saling berkasih sayang. Maukah kalian aku beritahu sesuatu yang apabila kalian melakukannya niscaya kalian akan saling berkasih sayang? Sebarkanlah salam di antara kalian.”[12]

Dengan demikian, rasa cinta dan benci karena Allah ‘Azza wa Jalla menempati kedudukan ‘urwatul wutsqa (simpul yang kuat) dalam ikatan iman.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:

“Sesungguhnya ikatan keimanan yang paling kuat adalah engkau mencintai karena Allah dan engkau membenci juga karena Allah.” [13]

Demikianlah rasa cinta dan benci yang benar, yaitu cinta dan benci karena Allah semata yang merupakan puncak tertinggi dalam kesempurnaan iman. Kesanalah pandangan orang-orang yang berlomba-lomba mencintai Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan kesana pulalah hati orang-orang yang saling berlomba dalam meraih naungan teduh pada hari yang tiada naungan kecuali naungan Allah Tabaaraka wa Ta’ala . Itulah hati orang-orang yang dicintai oleh Allah dan seluruh makluq-Nya baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi, yaitu hati manusia yang senantiasa terpaut karena Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.

Jadi... hati-hati, jangan salah jatuh cinta..!

Wallahu a'lam.


Maraji':
Al-Hubb wal Bughdhu Fillah, Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilaly
Tazkiyatun Nafs, Ibnu Qayyim al-Jauziyah
Raudhatul Muhibbin wa Nuzhatul Musytaqin, Ibnu Qayyim al-Jauziyah
Syarh Riyadhush Shalihin, Syaikh Utsaimin
Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhush Shalihin, Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilaly


Catatan kaki:
[1] Riwayat Bukhari (I/60 Fat-hul Baari) dan Muslim (II/13-14, an-Nawawi) dari jalan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
[2] Al-Hubb wal Bughdhu Fillah, Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilaly.
[3] Riwayat Bukhari (II/143 Fat-hul Baari) dan lafadz ini adalah lafadznya, Muslim (VII/121-123, an-Nawawi) dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[4] Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 5125), ahmad (III/150) dan al-Hakim (IV/171) serta selain mereka dari jalan al-Mubarak bin Fudhalah ia berkata: Tsabit al Bunani meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali berkata dalam al-Hubb wal Bughdhu fillah (hal. 69): ‘Sanadnya shahih, perawinya tsiqah, dan al-Mubarak telah menyatakan penyimakannya. Diriwayatkan pula oleh al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIII/66-67) dari jalur ‘Abdurrazzaq, ia berkata: Ma’mar telah menceritakan kepada kami dari al-Asy’ats bin ‘Abdullah dari Anas bin Malik dengan redaksi yang telah disebutkan di atas.’
[5] Riwayat Muslim (XVI/123-124) dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[6] Riwayat Bukhari (VI/303, X/461 Fat-hul Baari), Muslim (XVI/183-184, an-Nawawi), dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[7] Riwayat Muslim (XVI/123, an-Nawawi), dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[8] Hadits shahih, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2390) dan Ahmad (V/236-237).
[9] Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 2508 –Mawaarid) dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Syaikh Salim berkata, ‘Sanadnya hasan. Dalam bab ini diriwayatkan juga dari ‘Umar bin al-Khaththab, ‘Abdullah bin ‘Umar dan selain mereka radhiyallahu ‘anhuma.
[10]Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ahmad (II/298), al-Hakim (I/3 dan IV/168), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIII/52-53), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (VII/204), ath-Thayalisi (no. 2495), al-Bazzar (no. 63-Kasyaf).
[11]Hadits shahih lighairihi, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4681) dari jalur Yahya bin al-Harits dari al-Qasim dari Abu Umamah secara marfu’.
[12]Riwayat Muslim (II/35, an-Nawawi) dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[13]Hadits shahih lighairihi, diriwayatkan oleh Ahmad (IV/286), Ibnu Abu Syaibah dalam al-Iimaan (no. 110) dan ath-Thayalisi (II/48 –Minhatul Ma’buud).

Jalan Masuk Surga (10)

"Dan janganlah kamu duduk di tiap-tiap jalan dengan menakut-nakuti dan
menghalang-halangi orang yang beriman dari jalan Allah, dan
menginginkan agar jalan Allah itu menjadi bengkok. Dan ingatlah di
waktu dahulunya kamu (berjumlah) sedikit, lalu Allah memperbanyak
(jumlah) kamu. Dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang
berbuat kerusakan.
"(QS. AL A'RAAF:86)

Jalan Masuk Surga (11)

Jangan Salah Jatuh Cinta





Cinta adalah perasaan yang senantiasa melekat dalam hati setiap hamba. Inilah anugerah yang Allah berikan kepada manusia untuk dikelola dan diarahkan kepada hal-hal yang positif sesuai dengan apa yang Allah dan Rasul-Nya inginkan dan tetapkan. Namun sangat disayangkan, kebanyakan manusia tidak mengerti cara mengelola perasaan cinta pada koridor yang benar. Akibatnya, mereka menggelincirkan diri mereka sendiri ke jurang kehancuran. Tidak jarang mereka mencintai sesuatu yang tidak bermanfaat bagi mereka dan membenci sesuatu yang bermanfaat bagi mereka. Hal ini terjadi karena jahil-nya mereka akan hakikat cinta dan benci yang sesungguhnya. Sehingga mereka tidak tahu apa yang harus dicintai dan dibencinya, juga untuk dan karena apa sebetulnya ia mencintai dan membenci. Bahkan, dia tidak mengetahui apakah yang dia cintai atau dia benci itu merupakan suatu kebaikan atau bukan.

Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, yang artinya:


“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)


Sesungguhnya cinta dan benci karena Allah 'Azza wa Jalla merupakan pintu yang sangat agung di antara pintu-pintu kebaikan di akhirat. Manusia yang beriman kepada Allah akan menyandarkan rasa cinta dan bencinya kepada petunjuk Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini merupakan sebab seseorang mendapatkan kelezatan iman di dunia.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, artinya:

“Ada tiga perkara, siapa saja yang memilikinya niscaya ia akan merasakan manisnya iman: (1) Allah dan Rasul-Nya menjadi yang paling ia cintai daripada selain keduanya, (2) Mencintai seseorang karena Allah semata, (3) Benci kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci dilemparkan ke dalam api Neraka.”[1]

Sebagian orang mengira bahwa cinta dan benci adalah suasana hati yang tidak mampu untuk dikendalikan oleh manusia. Padahal Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menuntun kita bagaimana cara mencintai dan membenci karena Allah semata. Sehingga apabila kita melaksanakannya, niscaya akan kita dapatkan kelapangan dan keteduhan, yakni keimanan dan keamanan.

Seorang Muslim tidaklah mencintai seseorang kecuali karena agamanya yang haq, dan tidak pula membencinya karena agamanya yang bathil. Oleh sebab itu, seorang Muslim mencintai para Nabi, shiddiqin, para syuhada dan orang-orang shalih, karena mereka melakukan apa-apa yang dicintai oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Ia mencintai mereka karena Allah ‘Azza wa Jalla. Dan ini merupakan kesempurnaan cinta mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan seorang Muslim juga membenci orang-orang kafir, kaum munafiqin, ahlul bid’ah dan pelaku maksiat, karena mereka melakukan apa yang dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia membenci mereka karena Allah ‘Azza wa Jalla. Dan siapa saja yang melakukan itu, maka ia telah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.

Di antara tanda kesempurnaan cinta seorang hamba kepada Rabb Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mencintai sesuatu yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia mencintai seseorang karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan karena tujuan-tujuan yang lain. Banyak manusia merasa tidak puas Allah Subhanahu wa Ta’ala semata yang menjadi wali dan penolongnya, lalu ia mendekat kepada tuhan-tuhan selain Allah dan mencintai mereka seperti ia mencintai Allah. Ia mengira tuhan-tuhan itu dapat membuat mereka menjadi lebih dekat kepada Allah. Ini jelas merupakan perbuatan syirik yang nyata.

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan rahmat-Nya, telah menyatukan hati kaum mukminin di atas keta’atan kepada-Nya, dan memadukan mereka di atas manhaj-Nya. Karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berhak disyukuri atas nikmat tersebut, dengan menjadikan cinta semata-mata karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berpegang teguh dengan tali-Nya yang kuat.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, artinya:

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang Neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali ‘Imran: 103)

Sungguh telah terjadi mukjizat yang tidak kuasa dilakukan oleh siapa pun kecuali oleh Allah ‘Azza wa Jalla, dan tidak bisa diwujudkan kecuali oleh ‘aqidah ini. Dan tidak mungkin menyatukan hati-hati itu kecuali cinta karena Allah. Hanya itu yang dapat mencairkan seluruh dendam sejarah yang pernah terjadi, menyatukan hati-hati yang bermusuhan, menyatukan tabiat-tabiat yang saling berlainan dan menghilangkan fanatisme golongan ala Jahiliyah. Hanya dengan itu pulalah barisan dapat disatukan di bawah naungan panji kebenaran yang besar dan tinggi. Suatu kaum akan berkasih sayang dengan rahmat Allah di antara mereka, walaupun tidak ada hubungan darah di antara mereka, tidak ada keuntungan harta yang diperoleh dan tidak pula urusan dagang di antara mereka.[2]

Ketika seseorang telah menjadikan materi yang fana sebagai dasar rasa cinta dan bencinya, maka sesungguhnya ia hanya akan menjadi penghalang dan membuat manusia berselisih, berpecah belah dan tidak bisa mempersatukan. Sesungguhnya permusuhan yang timbul di antara orang-orang yang tadinya berkawan akrab adalah bersumber dari kecintaan mereka atas dasar kepentingan dunia, yang mereka berkumpul di atas kesesatan dan saling mendorong kepada kemaksiatan. Dan pada hari dimana setiap diri akan mempertanggung jawabkan apa yang telah diperbuatnya di dunia, sebagian dari mereka akan mencela sebagian yang lain dan melemparkan kesesatan juga akibat buruk atas sebagian yang lain. Pada hari itu mereka akan berubah menjadi musuh, padahal sebelumnya mereka adalah teman akrab yang saling membantu.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya:

“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Az-Zukhruf: 67)

Hilanglah semua kawan karib dan teman akrab dahulu. Dan ketika orang-orang yang berkawan karib itu sibuk dalam persengketaan dan penyesalan, orang-orang yang berkasih sayang karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berada dalam rasa aman, thuma’ninah dan sakinah, saling berhubungan karena Allah dan saling menasihati karena Allah, juga mereka mendapatkan naungan dari Allah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, artinya:

“Hai hamba-hamba-Ku, tiada kekhawatiran terhadapmu pada hari ini dan tidak pula kamu bersedih hati.” (QS. Az-Zukhruf: 68)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:


“Tujuh golongan yang akan dinaungi Allah pada hari yang tiada naungan selain naungan-Nya: (1) Seorang Imam yang adil, (2) Seorang pemuda yang menghabiskan masa mudanya dengan beribadah kepada Rabb-nya, (3) Seorang yang hatinya selalu terkait dengan masjid, (4) Dua orang yang saling mencintai karena Allah, berkumpul karena Allah dam berpisah juga karena Allah, (5) Laki-laki yang diajak oleh seorang wanita yang terpandang dan cantik untuk berzina lantas ia berkata: “Sesungguhnya aku takut kepada Allah.” (6) Seorang yang menyembunyikan sedekahnya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya, (7) Seorang yang berdzikir kepada Allah dengan menyepi seorang diri hingga bercucuran air matanya.” [3]


Dan barang siapa yang mencintai Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia akan bersama dengan yang dicintainya, sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, artinya:

“Seorang laki-laki berpapasan dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika itu di sisi beliau ada beberapa orang, salah seorang di antara mereka berkata: ‘Sesungguhnya aku mencintainya karena Allah.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: ‘Apakah engkau sudah memberitahukan kepadanya?’ Ia menjawab: ‘Belum.’Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Temuilah ia dan beritahukan kepadanya.’Maka ia pun bangkit menemuinya dan memberitahukan kepadanya. Laki-laki itu membalas: ‘Semoga Allah mencintaimu yang karena-Nya engkau mencintaiku.’ Kemudian ia kembali. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, lalu ia pun menyampaikan apa yang dikatakan oleh laki-laki itu. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Engkau bersama orang yang engkau cintai, dan bagimu apa yang engkau harapkan (berupa pahala)?’”[4]

Mencintai dan membenci karena Allah ‘Azza wa Jalla memiliki beberapa keutamaan yang akan menjadi keuntungan tersendiri untuk hamba-hamba yang menjadikan keridhaan Allah sebagai satu-satunya tujuan, yaitu :

1. Cinta Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi orang-orang yang saling mencintai karena Allah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya:

“Seorang laki-laki mengunjungi saudaranya (seiman) di kota lain. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengirim satu Malaikat untuk mengikuti perjalanannya. Tatkala bertemu dengannya, Malaikat itu bertanya: ‘Kemanakah engkau hendak pergi?’ Ia menjawab: ‘Aku hendak mengunjungi saudaraku di kota lain.’ Malaikat itu bertanya lagi: ‘Adakah suatu keuntungan yang engkau harapkan darinya?’ Ia menjawab: ‘Tidak ada, hanya saja aku mencintainya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.’ Maka Malaikat itu berkata: ‘Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu untuk menyampaikan bahwa Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintainya karena Allah.’” [5]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, artinya:

“Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai seorang hamba niscaya Jibril akan berseru: ‘Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai fulan, maka cintailah dia.’ Maka Jibril pun mencintainya. Lalu Jibril menyerukan kepada penghuni langit: ‘Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai fulan, maka cintailah ia.’ Maka penghuni langit pun mencintainya, kemudian diberikan kepadanya penerimaan yang baik di kalangan penduduk bumi.” [6]

2. Orang-orang yang saling mencintai karena Allah ‘Azza wa Jalla berada di bawah naungan ‘Arsy ar-Rahmaan pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya:

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan bertanya nanti pada hari Kiamat: ‘Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini Aku akan menaungi mereka di bawah naungan-Ku yang tiada naungan kecuali naungan-Ku.” [7]

3. Orang-orang yang saling mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya pada hari Kiamat.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah riwayat dari Rabb-nya,


“Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku, bagi mereka mimbar-mimbar dari cahaya yang membuat cemburu para Nabi dan syuhada.” [8]


4. Orang-orang yang saling mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah orang-orang yang tidak ada rasa takut atas mereka dan mereka tidak akan bersedih.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, artinya:

“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada yang bukan Nabi, tetapi para Nabi dan syuhada merasa cemburu terhadap mereka. Ditanyakan: ‘Siapakah mereka? Semoga kami dapat mencintai mereka.’ Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena cahaya Allah tanpa ada hubungan keluarga dan nasab di antara mereka. Wajah-wajah mereka bagaikan cahaya di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Mereka tidak takut di saat manusia takut dan mereka tidak bersedih di saat manusia bersedih.’ Kemudian beliau membacakan ayat :

“Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus: 62)” [9]

5. Cinta karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebabkan seseorang meraih kelezatan iman.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya:

“Barang siapa yang ingin meraih kelezatan iman hendaklah ia mencintai seseorang hanya karena Allah.” [10]

6. Cinta dan benci karena Allah merupakan bukti kesempurnaan iman.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya:

“Barang siapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah dan menahan (tidak memberi) karena Allah, sungguh ia telah menyempurnakan keimanan.” [11]

7. Cinta karena Allah merupakan jalan menuju Surga.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya:

“Kalian tidak akan masuk Surga hingga beriman. Dan kalian tidak akan beriman hingga saling berkasih sayang. Maukah kalian aku beritahu sesuatu yang apabila kalian melakukannya niscaya kalian akan saling berkasih sayang? Sebarkanlah salam di antara kalian.”[12]

Dengan demikian, rasa cinta dan benci karena Allah ‘Azza wa Jalla menempati kedudukan ‘urwatul wutsqa (simpul yang kuat) dalam ikatan iman.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:

“Sesungguhnya ikatan keimanan yang paling kuat adalah engkau mencintai karena Allah dan engkau membenci juga karena Allah.” [13]

Demikianlah rasa cinta dan benci yang benar, yaitu cinta dan benci karena Allah semata yang merupakan puncak tertinggi dalam kesempurnaan iman. Kesanalah pandangan orang-orang yang berlomba-lomba mencintai Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan kesana pulalah hati orang-orang yang saling berlomba dalam meraih naungan teduh pada hari yang tiada naungan kecuali naungan Allah Tabaaraka wa Ta’ala . Itulah hati orang-orang yang dicintai oleh Allah dan seluruh makluq-Nya baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi, yaitu hati manusia yang senantiasa terpaut karena Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.

Jadi... hati-hati, jangan salah jatuh cinta..!

Wallahu a'lam.


Maraji':
Al-Hubb wal Bughdhu Fillah, Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilaly
Tazkiyatun Nafs, Ibnu Qayyim al-Jauziyah
Raudhatul Muhibbin wa Nuzhatul Musytaqin, Ibnu Qayyim al-Jauziyah
Syarh Riyadhush Shalihin, Syaikh Utsaimin
Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhush Shalihin, Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilaly


Catatan kaki:
[1] Riwayat Bukhari (I/60 Fat-hul Baari) dan Muslim (II/13-14, an-Nawawi) dari jalan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
[2] Al-Hubb wal Bughdhu Fillah, Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilaly.
[3] Riwayat Bukhari (II/143 Fat-hul Baari) dan lafadz ini adalah lafadznya, Muslim (VII/121-123, an-Nawawi) dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[4] Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 5125), ahmad (III/150) dan al-Hakim (IV/171) serta selain mereka dari jalan al-Mubarak bin Fudhalah ia berkata: Tsabit al Bunani meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali berkata dalam al-Hubb wal Bughdhu fillah (hal. 69): ‘Sanadnya shahih, perawinya tsiqah, dan al-Mubarak telah menyatakan penyimakannya. Diriwayatkan pula oleh al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIII/66-67) dari jalur ‘Abdurrazzaq, ia berkata: Ma’mar telah menceritakan kepada kami dari al-Asy’ats bin ‘Abdullah dari Anas bin Malik dengan redaksi yang telah disebutkan di atas.’
[5] Riwayat Muslim (XVI/123-124) dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[6] Riwayat Bukhari (VI/303, X/461 Fat-hul Baari), Muslim (XVI/183-184, an-Nawawi), dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[7] Riwayat Muslim (XVI/123, an-Nawawi), dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[8] Hadits shahih, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2390) dan Ahmad (V/236-237).
[9] Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 2508 –Mawaarid) dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Syaikh Salim berkata, ‘Sanadnya hasan. Dalam bab ini diriwayatkan juga dari ‘Umar bin al-Khaththab, ‘Abdullah bin ‘Umar dan selain mereka radhiyallahu ‘anhuma.
[10]Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ahmad (II/298), al-Hakim (I/3 dan IV/168), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIII/52-53), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (VII/204), ath-Thayalisi (no. 2495), al-Bazzar (no. 63-Kasyaf).
[11]Hadits shahih lighairihi, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4681) dari jalur Yahya bin al-Harits dari al-Qasim dari Abu Umamah secara marfu’.
[12]Riwayat Muslim (II/35, an-Nawawi) dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[13]Hadits shahih lighairihi, diriwayatkan oleh Ahmad (IV/286), Ibnu Abu Syaibah dalam al-Iimaan (no. 110) dan ath-Thayalisi (II/48 –Minhatul Ma’buud).

Jalan Masuk Surga (12)

Rumah Tangga Sebuah Amanah

Kewajiban paling utama, tanggung jawab paling besar, dan amanah paling berat adalah pendidikan terhadap keluarga dan bimbingan untuk rumah tangga, berawal dari diri sendiri kemudian istri, anak-anak , dan kerabatnya. Inilah yang dimaksud firman Alloh:

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارً۬ا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡہَا مَلَـٰٓٮِٕكَةٌ غِلَاظٌ۬ شِدَادٌ۬ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ (٦)

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api naar yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. 66:6)

Pendidikan keluarga bukan sekedar kegiatan sambilan, pemikiran sedeharna, atau upaya ala kadarnya. Namun pendidikan keluarga merupakan kebutuhan asasi dan masalah yang sangat urgen serta memiliki konsekuensi jauh ke depan dalam menentukan masa depan rumah tangga. Seorang muslim harus bertanggung jawab atas segala kekurangan dan kesesatan yang terjadi di tengah keluarganya. Dari Ibnu Umar Rodhiyalloohu ‘Anhuma berkata: aku mendengar Rosulullooh Shololloohu ‘alaihi wassallam bersabda:

“Kamu sekalian adalah pemimpin, dan akan diminta tanggung jawab atas kepimpinannya, seorang imam adalah pemimpin, dan akan diminta tanggung jawab atas kepemimpinannya dan seorang laki-laki adalah pemimpin dan akan diminta tanggung jawab atas atas kepemimpinannya, dan wanita adalah penanggung jawab terhadap rumah suaminya dan akan diminta tanggung jawabnya, serta pembantu penanggung jawab atas harta benda majikannya dan akan diminta tanggung jawabnya”. (Shohih, diriwayatkan oleh Bukhori dalam Shohih-nya: 893, 2409, 2554, 2558, 2571, 5188, dan 7138. Muslim dalam Shohih-nya: 4701, dan Tirmidzi dalam Sunan-nya: 1705)

Keluarga yang baik merupakan nikmat yang paling agung dan karunia yang palingberharga dan tidak ada yang mampu menghargai dan mengenali nilainya kecuali orang yang telah memiliki keluarga hancur dan rumah tangga berantakan sehingga kehidupan laksana terkurung oleh hawa neraka, dan hari-harinya hampir diwarnai perih dan pilu karena keluarga berantakan.

Bekal Membina Rumah Tangga

Ketahuilah bahwa berbagai macam problem kehidupan dalam rumah tangga sering timbul akibat kebodohan terutama terhadap ilmu agama. Dan sebagai obatnya adalah belajar, sebagaimana sabda Nabi Shololloohu ‘alaihi wassallam kepada para sahabat Rodhiyalloohu ‘Anhuma:

“Mengapa mereka tidak bertanya jika tidah tahu? Sesungguhnya obat kebodohan adalah bertanya”. (Hasan, diriwayatkan Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya: 337 dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya:572. Dan dihasankan syaikh al-Albani dalam Shohih Sunan Abu Dawud: 337)

Kedunguan hati dari ilmu dan kebisuan lisan dari berbicara dinyatakan sebagai penyakit. Dan obatnya adalah bertanya kepada ulama, sehingga meraih ilmu yang bermanfaat, sebab ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang terpancar dari lentera Al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman para sahabat dan tabi’in , termasuk perkara yang terkait dengan ma’rifat kepada Alloh, hukum halal-haram, zuhud, kebersihan hati dan akhlaq mulia, serta mengatur kehidupan rumah tangga.

Ilmu yang bermanfaat berfungsi sebagai pemusnah secara tuntas dua penyakit rohani yang paling berbahaya dan menjadi biang penyakit hati yaitu syubhat dan syahwat. Maka sebagai seorang pendidik, sebelum membina keluarganya, harus membekali dirinya dengan ilmu agama yang cukup. Sehingga dengan bekal ilmu agama yang bermanfaat, semua urusan rumah tangga menjadi mudah dan berdakwah di tengah keluarga menjadi lancar. Apalagi bila ilmu telah meresap ke dalam hati maka akan melenyapkan penyakit syubhat dan syahwat, mencabut kedua penyakit itu sampai ke akar-akarnya. Ibaratnya orang yang sedang minum obat, segala macam kuman akan hancur dan musnah, sementara obat yang paling manjur adalah obat yang cepat meresap ke dalam tubuh dan tidak membuat kuman kebal, tetapi untuk memusnahkan.

Akhlaq Seorang Pendidik

Seorang pembina rumah tangga harus berilmu, berperangai lemah lembut, bersabar dalam mendidik, sehingga akan memberikan kesan yang baik pada keluarga, seperti firman Alloh Subhannahu Ta’ala:

فَبِمَا رَحۡمَةٍ۬ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡ‌ۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَ‌ۖ فَٱعۡفُ عَنۡہُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِى ٱلۡأَمۡرِ‌ۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ (١٥٩)

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. (QS. Ali Imran [3]: 159)

Syaikhul islam Ibnu taimiyah Rohimahulloh berkata:

“Hendaknya tidak menyeru kebaikan dan melarang kemungkaran kecuali setelah memiliki tiga bekal: berilmu sebelum menyeru kebaikan dan melarang kemungkaran, berperangai lemah lembut ketika menyeru kebaikan dan melarang kemungkaran, serta bersabar setelah menyeru kebaikan dan melarang kemungkaran.” (al-Amr bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar, Ibnu Taimiyah, hal. 57)

Hendaknya seorang pendidik paling terdepan dalam memberi contoh karena sangat berat ancaman orang yang tidak konsekuen terhadap ajakannya, sebagaimana sabda Nabi Shololloohu ‘alaihi wassallam:

“Nanti pada hari kiamat ada seseorang didatangkan lalu dilemparkan ke dalam neraka, maka ususnya keluar. Lalu ia berputar-putar di sekitar penggilingan. Kemudian penghuni neraka mengerumuninya dan bertanya, ‘Hai Fulan, ada apa denganmu? Bukankah kamu yang menyeru kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran?’ Ia menjawab, ‘Ya, aku telah menyeru kepada kebaikan tetapi aku sendiri tidak mengerjakannya dan aku melarang orang dari kemungkaran tetapi aku sendiri mengerjakannya.” (Shohih, diriwayatkan Imam Bukhori dalam Shohih-nya: 3267, 7098. Dan Imam Muslim dalam shohih-nya: 7408)

Hadits shohih di atas memberi petunjuk bahwa orang yang mengetahui kebaikan dan kemungakaran lalu melanggarnya lebih berat siksaannya daripada orang yang tidak mengetahuinya karena ia seperti orang yang menghina larangan Alloh dan meremehkan syari’at-Nya, sehingga ia termasuk ahli ilmu yang tidak bermanfaat ilmunya.

Wahai saudaraku, para suami…

Wahai sang suami, sungguh engkaulah pemegang kendali rumah tangga, ikatan pernikahan dan perjanjian yang berat, karena Alloh berfirman:

….. وَّاَخَذۡنَ مِنۡكُمۡ مِّيۡثَاقًا غَلِيۡظًا

Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS. 4:21)

Anda telah memikul tanggung jawab, memegang amanat dan beban rumah tangga. Hubungan penikahan merupakan kemuliaan bagi laki-laki dan perempuan, maka secara fitroh dan naluri masing-masing memiliki tugas hidup agar kehidupan rumah tangga berjalan normal dan lurus seperti firman Alloh:

ٱلرِّجَالُ قَوَّٲمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٍ۬ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٲلِهِمۡ‌ۚ فَٱلصَّـٰلِحَـٰتُ قَـٰنِتَـٰتٌ حَـٰفِظَـٰتٌ۬ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ‌ۚ وَٱلَّـٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِى ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّ‌ۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَڪُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡہِنَّ سَبِيلاً‌ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّ۬ا ڪَبِيرً۬ا (٣٤)

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka [laki-laki] atas sebahagian yang lain [wanita], dan karena mereka [laki-laki] telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa’ [4]: 34)

Upayakanlah kendali rumah tangga, terutama isterimu, tetap berada di tanganmu. Jangan bersikap lemah dan tidak berwibawa serta tidak berdaya di hadapan tuntutan dan tekanan isterimu, akhirnya ia menghinamu, memperbudakmu, dan merendahkanmu sehingga kehidupan rumah tanggamu berantakan bagaikan neraka. Begitu pula, jangan engkau menghinanya dan menzholiminya, serta menganggapnya seperti barang tak berguna, sebab sikap semena-mena terhadap orang yang lemah seperti isterimu menunjukkan kerdilnya sebuah kepribadian. Terimalah kebaikan yang telah diberikan kepadamu dengan senang hati dan bersabarlah atas berbagai kekurangannya, serta jangan mengangan-angankan kesempurnaan darinya karena dia diciptakan oleh Alloh dari tulang rusuk yang bengkok sebagaimana sabda Rosululloh Shololloohu ‘alaihi wassallam:

((إِنَّ الْمَرْأَةََ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ, لَنْ تَسْتَقِيْمَ لَكَ عَلَى طَرِيْقَةٍ, فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اِسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيْهَا عِوَجٌ, وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهَا كَسَرْتَهَا وَكَسْرُهَا طَلاَقُهَا))
“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk, ia tidak bisa lurus bersamamu di atas satu jalan. Jika kamu menikmatinya maka kamu menikmatinya dalam kondisi bengkok, namun bila anda ingin meluruskannya, maka boleh jadi patah dan patahnya adalah talak.” (Shohih, diriwayatkan Imam Muslim dalam Shohih-nya: 3631)

Wahai saudaraku, para isteri…

Setiap kesalahan yang dilakukan seorang isteri, perasaan mengikuti hawa nafsu, sikap terlalu cemburu, atau was-was hanya merupakan bisikan setan dan bersumber dari lemahnya iman kepada Alloh, sehingga rumah tangga berubah meikan bagnjadi berantakan laksana neraka dan rumah tangga menjadi porak-poranda bagaikan bangunan disambar halilintar; akibatnya, semua pihak menyesali pernikahan tersebut. Atau boleh jadi karena kesalahan isteri menjadi penyebab talak (perceraian), kemudian jiwa menjadi goncang dan ditimpa kegelisahan yang sangat berat.

Betapa indahnya bila anda meluruskan hati, ahlak, dan tabiat ketika bergaul dengan suami dan kerabat suami anda. Betapa eloknya bila anda selalu menggunakan akal sehat dan kesabaran dalam setiap menghadapi urusan rumah tangga. Betapa mulianya ketika seorang isteri mampu menjadi pendamping setia bagi suami, dan betapa agung kedudukannya di hati sang suami bahkan ia mampu memikat perasaan suami ketika sang isteri berkata: “Aku mendengar dan mentaati”.

Semoga saudariku muslimah mendapa taufiq dan hidayah dengan etika Islam, mau menyempurnakan akal pikiran dengan ilmu dan ma’rifah, dan menyembuhkan hatinya dengan keimanan kepada Alloh, sehingga kehidupan penuh dengan suasana bahagia dan hidup bersama sang suami penuh dengan ketenangan dan ketentraman serta kegembiraan.

Wahai para isteri, tunaikanlah kewajibanmu terhadap suamimu, niscaya engkau akan mendapat kasih sayang dan cintanya!.

Kewajiban Seorang Suami

Kewajiban sebagai seorang suami banyak sekali namun yang terpenting antara lain:

1. Kewajiban materi meliputi pemberian nafkah, kebutuhan pakaian, dan kebutuhan pendidikan keluarga serta kebutuhan tempat tinggal

2. Tidak boleh memberatkan isteri dengan mengajukan berbagai tuntutan kebutuhan di luar kemampuannya, dan tidak boleh membuat suasana kacau karena permasalahan sepele, sebagaimana yang telah diwasiatkan Rosululloh Shololloohu ‘alaihi wassallam:

“Ingatlah dan berwasiatlah kepada wanita dengan kebaikan, karena mereka berada disisimu bagaikan pelayan, dan kalian tidak bisa memiliki lebih dari itu kecuali mereka telah melakukan perbuatan keji yang jelas.”(Shohih, diriwayatkan Tirmidzi dalam Sunan-nya: 1163 dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya: 1851)

3. Kewajiban non materi seorang suami meliputi menggembirakan isteri dan bersikap lemah lembut dalam bertutur kata. Sang suami harus bermusyawarah dan mengambil pendapat sang isteri dalam rangka menunaikan kebaikan. Begitu juga, sang suami harus berterima kasih atas jerih payah isterinya, dan tidak boleh mendiamkan di atas tiga hari karena urusan keduniaan.

4. Hendaknya seorang suami memberi kesempatan bagi isterinya untuk beramal sholih, bersedekah dengan hartanya, memberi hadiah, menyambut tamu dari keluarga dan kerabatnya, serta setiap orang yang mempunyai hak atasnya.

5. Hendaknya mengambil waktu yang cukup untuk tinggal di rumah dan berusaha semaksimal mungkin menghindari keluar rumah tanpa tujuan dan sering berpergian, sering keluar rumah untuk bergadang tanpa manfaat, karena yang demikian itu bisa membawa kehancuran.

6. Hendaknya sang suami tidak melarang isterinya berkunjung kepada keluarga dan kerabatnya, asal tidak berlebihan.

7. Wanita dalah mahluk yang lemah, maka wajib bagi laki-laki memberi perhatian cukup, melarangnya keluar ke pasar dan lainnya seorang diri, dan harus menjauhkannya dari tempat yang ikhtilath (bercampur) dan kholwah (berduaan/menyepi) dengan laki-laki lain. Begitu juga seorang suami harus menjauhkan sasuatu yang merusak aqidah dan akhlaq keluarganya, dan menyingkirkan segala sarana maksiat yang menghancurkan kehormatan, seperti alat musik.

8. Seorang suami harus mengajarkan kepada isterinya ilmu agama dan mendidiknya di atas kebaikan, serta menyiapkan segala kebutuhannya dalam rangka meraih ilmu dan istiqomah dalam beragama sesuai dengan ajaran Alloh

Kewajiban Seorang Isteri

Di antara Kewajiban sebagai Seorang Isteri yang paling utama dan prinsip, antara lain:

1. Mentaati dan mematuhi perintah suami selagi tidak menganjurkan maksiat kepada Alloh, karena tidak ada ketaatan kepada mahluk bila menganjurkan kepada maksiat dan pelanggaran kepada Alloh, seperti sabda Rosululloh Shololloohu ‘alaihi wassallam:

“Tidak ada ketaatan bagi orang yang bermaksiat kepada Allah Subahanahu wa Ta’ala”. (Shahih. Diriwayatkan Muslim dalam Shahih-nya: 4840, at-Tirmidzi dalam Sunan-nya: 1707 dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya: 2865 dengan lafazh Ibnu Majah serta dishahihkan Syaikh al-Albani.)

2. Dalam bidang materi, seorang isteri harus memberikan pelayanan fisik, baik yang berkaitan dengan kebutuhan pribadi suami atau rumah tangganya, sehingga ibadah nafilah (sunnah) menjadi gugur demi menunaikan tugas tersebut.

Dari Abu Hurairoh sesungguhnya Rosululloh Shololloohu ‘alaihi wassallam: bersabda:

“Tidak boleh bagi seorang isteri berpuasa (sunnat) sementara suami ada di rumah kecuali atas izinnya (suami), tidak boleh ia mengizinkan orang lain masuk rumahnya kecuali atas izinnya (suami), dan setiap harta suami yang diinfaqkan sang isteri tanpa seizinnya, maka sang suami mendapatkan pahala separuh baginya.” (Shohih, diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahih-nya: 2066 dan 5360, Imam Muslim dalam Shahih-nya: 2367 dan Abu Dawud dalam Sunan-nya: 1687, 2458).

3. Dalam bidang rohani, seorang isteri harus menjaga perasaan suami dan menciptakan suasana tenang dan kondusif dalam rumah tangga serta membantu meringankan beban dan penderitaan yang menimpa suaminya.

4. Dalam bidang kesejahteraan, seorang isteri harus mengingatkan suami tentang kebaikan, membantu dalam kebajikan dan ketaatan, membantu dalam bidang sosial, menyantuni fakir miskin dan membantu orang-orang yang lemah untuk memenuhi kebutuhan mereka.

5. Dalam bidang pendidikan, seorang isteri harus membantu suami dengan jiwa raga dan menerima segala nasehat dan arahannya. Begitu juga dia harus membantunya dalam mendidik dan meluruskan adab anak-anak serta menghindarkan sikap antipati dan masa bodoh terhadap masa depan pendidikan anak-anak.

6. Hendaklah seorang isteri tidak mengajukan tuntutan nafkah atau lainnya yang memberatkan suami atau mempersulit suami.

7. Tidak berkhianat dalam dirinya, harta benda suami dan rahasia-rahasianya.

Balasan Bagi Rumah Tangga yang Berhasil

Tiada amal sholih yang dianggap sia-sia oleh agama. Setiap kebaikan sekecil apapun pasti mendapat balasan. Setiap benih kebaikan yang disemai di ladang subur, pada musim panen pasti akan memetik hasilnya, maka suami dan isteri yang telah membina rumah tangga yang baik dan mengerahkan berbagai macam pengorbanan untuk mendidik keluarga. Alloh akan memberi balasan yang besar. Cukuplah balasan nikmat baginya berupa sanjungan, pujian, dan pahala yang besar setelah wafatnya, seperti yang telah ditegaskan sebuah hadits dari Abu Hurairoh Rodhiyalloohu ‘anhu ia berkata bahwa Rosululloh Shololloohu ‘alaihi wassallam bersabda:

“Jika manusia meninggal maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara,: shodaqoh jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholih yang mendo’akannya.” (HR. Bukhori 7/247 no.6514, dan Muslim 3/1016 no.1631)

Balasan yang lebih besar lagi, ia dikumpulkan di surga bersama para kekasih dan kerabatnya dalam satu tempat tinggal di surga, sebagai karunia dan balasan yang baik dari Alloh, seperti firman Allohu ta’ala:

وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَٱتَّبَعَتۡہُمۡ ذُرِّيَّتُہُم بِإِيمَـٰنٍ أَلۡحَقۡنَا بِہِمۡ ذُرِّيَّتَہُمۡ وَمَآ أَلَتۡنَـٰهُم مِّنۡ عَمَلِهِم مِّن شَىۡءٍ۬‌ۚ كُلُّ ٱمۡرِىِٕۭ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ۬ (٢١)

Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka.Tiap-tiap manusia terikat dengan apayang dikerjakannya. (QS. 52:21)


Pembinaan rumah tangga secara baik, mampu mengangkat martabat, memperbaiki nasib rezeki, mengukir prestasi, memelihara moral generasi, dan menanggulangi dekadensi sehingga membuat hati tenang dan jiwa lapang. Maka pembinaan harus berbasis penumbuhan kesadaran, keimanan, ketaqwaan dan pengendalian diri, serta mampu membentuk suasana damai dan mesra sehingga perasaan kasih sayang tumbuh subur. Allohu musta’an

Diketik ulang oleh Ummu Tsaqiif al-Atsariyyah dari majalah Mawaddah Edisi 1 Tahun ke-1 (1428/2007) untuk http://jilbab.or.id/)

Pendukungku

Pengikut