My Green Clock

Senin, 16 Agustus 2010

Jalan Masuk Surga (9)

AH, Yang Pentingkan Hatinya!!!!

Banyak syubhat di lontarkan kepada kaum muslimah yang ingin berjilbab. Syubhat yang ‘ngetrend’ dan biasa kita dengar adalah ”Buat apa berjilbab kalau hati kita belum siap, belum bersih, masih suka ‘ngerumpi’ berbuat maksiat dan dosa-dosa lainnya, percuma dong pake jilbab! Yang penting kan hati! lalu tercenunglah saudari kita ini membenarkan pendapat kawannya.

Syubhat lainnya lagi adalah ”Liat tuh kan ada hadits yang berbunyi: Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk(rupa) kalian tapi Allah melihat pada hati kalian..!. Jadi yang wajib adalah hati, menghijabi hati kalau hati kita baik maka baik pula keislaman kita walau kita tidak berkerudung!. Benarkah demikian ya ukhti,, ??

Saudariku muslimah semoga Allah merahmatimu, siapapun yang berfikiran dan berpendapat demikian maka wajiblah baginya untuk bertaubat kepada Allah Ta’ala memohon ampun atas kejahilannya dalam memahami syariat yang mulia ini. Jika agama hanya berlandaskan pada akal dan perasaan maka rusaklah agama ini. Bila agama hanya didasarkan kepada orang-orang yang hatinya baik dan suci, maka tengoklah disekitar kita ada orang-orang yang beragama Nasrani, Hindu atau Budha dan orang kafir lainnya liatlah dengan seksama ada diantara mereka yang sangat baik hatinya, lemah lembut, dermawan, bijaksana. Apakah anda setuju untuk mengatakan mereka adalah muslim? Tentu akal anda akan mengatakan “tentu tidak! karena mereka tidak mengucapkan syahadatain, mereka tidak memeluk islam, perbuatan mereka menunjukkan mereka bukan orang islam. Tentu anda akan sependapat dengan saya bahwa kita menghukumi seseorang berdasarkan perbuatan yang nampak(zahir) dalam diri orang itu.

Lalu bagaimana pendapatmu ketika anda melihat seorang wanita di jalan berjalan tanpa jilbab, apakah anda bisa menebak wanita itu muslimah ataukah tidak? Sulit untuk menduga jawabannya karena secara lahir (dzahir) ia sama dengan wanita non muslimah lainnya.Ada kaidah ushul fiqih yang mengatakan “alhukmu ala dzawahir amma al bawathin fahukmuhu “ala llah’ artinya hukum itu dilandaskan atas sesuatu yang nampak adapun yang batin hukumnya adalah terserah Allah.

Rasanya tidak ada yang bisa menyangsikan kesucian hati ummahatul mukminin (istri-istri Rasulullah shalallahu alaihi wassalam) begitupula istri-istri sahabat nabi yang mulia (shahabiyaat). Mereka adalah wanita yang paling baik hatinya, paling bersih, paling suci dan mulia. Tapi mengapa ketika ayat hijab turun agar mereka berjilbab dengan sempurna (lihat QS: 24 ayat 31 dan QS: 33 ayat 59) tak ada satupun riwayat termaktub mereka menolak perintah Allah Ta’ala. Justru yang kita dapati mereka merobek tirai mereka lalu mereka jadikan kerudung sebagai bukti ketaatan mereka. Apa yang ingin anda katakan? Sedangkan mengenai hadits diatas, banyak diantara saudara kita yang tidak mengetahui bahwa hadits diatas ada sambungannya. Lengkapnya adalah sebagai berikut:

“Dari Abu Hurairah, Abdurrahman bin Sakhr radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk tubuh-tubuh kalian dan tidak juga kepada bentuk rupa-rupa kalian, tetapi Dia melihat hati-hati kalian “(HR. Muslim 2564/33).

Hadits diatas ada sambungannya yaitu pada nomor hadits 34 sebagai berikut:

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa kalian dan juga harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan perbuatan kalian. (HR.Muslim 2564/34).

Semua adalah seiring dan sejalan, hati dan amal. Apabila hanya hati yang diutamakan niscaya akan hilanglah sebagian syariat yang mulia ini. Tentu kaum muslimin tidak perlu bersusah payah menunaikan shalat 5 waktu, berpuasa dibulan Ramadhan, membayar dzakat dan sedekah atau bersusah payah menghabiskan harta dan tenaga untuk menunaikan ibadah haji ketanah suci Mekah atau amal ibadah lainnya. Tentu para sahabat tidak akan berlomba-lomba dalam beramal (beribadah) cukup mengandalkan hati saja, toh mereka adalah sebaik-baik manusia diatas muka bumi ini. Akan tetapi justru sebaliknya mereka adalah orang yang sangat giat beramal tengoklah satu kisah indah diantara kisah-kisah indah lainnya. Urwah bin Zubair Radhiyallahu anhu misalnya, Ayahnya adalah Zubair bin Awwam, Ibunya adalah Asma binti Abu Bakar, Kakeknya Urwah adalah Abu Bakar Ash-Shidik, bibinya adalah Aisyah Radhiyallahu anha istri Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam. Urwah lahir dari nasab dan keturunan yang mulia jangan ditanya tentang hatinya, ia adalah orang yang paling lembut hatinya toh masih bersusah payah giat beramal, bersedekah dan ketika shalat ia bagaikan sebatang pohon yang tegak tidak bergeming karena lamanya ia berdiri ketika shalat. Aduhai,..betapa lalainya kita ini,..banyak memanjangkan angan-angan dan harapan padahal hati kita tentu sangat jauh suci dan mulianya dibandingkan dengan generasi pendahulu kita. Wallahu’alam bish-shawwab.
“Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku, bagi mereka mimbar-mimbar dari cahaya yang membuat cemburu para Nabi dan syuhada.” [8]


4. Orang-orang yang saling mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah orang-orang yang tidak ada rasa takut atas mereka dan mereka tidak akan bersedih.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, artinya:

“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada yang bukan Nabi, tetapi para Nabi dan syuhada merasa cemburu terhadap mereka. Ditanyakan: ‘Siapakah mereka? Semoga kami dapat mencintai mereka.’ Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena cahaya Allah tanpa ada hubungan keluarga dan nasab di antara mereka. Wajah-wajah mereka bagaikan cahaya di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Mereka tidak takut di saat manusia takut dan mereka tidak bersedih di saat manusia bersedih.’ Kemudian beliau membacakan ayat :

“Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus: 62)” [9]

5. Cinta karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebabkan seseorang meraih kelezatan iman.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya:

“Barang siapa yang ingin meraih kelezatan iman hendaklah ia mencintai seseorang hanya karena Allah.” [10]

6. Cinta dan benci karena Allah merupakan bukti kesempurnaan iman.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya:

“Barang siapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah dan menahan (tidak memberi) karena Allah, sungguh ia telah menyempurnakan keimanan.” [11]

7. Cinta karena Allah merupakan jalan menuju Surga.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya:

“Kalian tidak akan masuk Surga hingga beriman. Dan kalian tidak akan beriman hingga saling berkasih sayang. Maukah kalian aku beritahu sesuatu yang apabila kalian melakukannya niscaya kalian akan saling berkasih sayang? Sebarkanlah salam di antara kalian.”[12]

Dengan demikian, rasa cinta dan benci karena Allah ‘Azza wa Jalla menempati kedudukan ‘urwatul wutsqa (simpul yang kuat) dalam ikatan iman.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:

“Sesungguhnya ikatan keimanan yang paling kuat adalah engkau mencintai karena Allah dan engkau membenci juga karena Allah.” [13]

Demikianlah rasa cinta dan benci yang benar, yaitu cinta dan benci karena Allah semata yang merupakan puncak tertinggi dalam kesempurnaan iman. Kesanalah pandangan orang-orang yang berlomba-lomba mencintai Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan kesana pulalah hati orang-orang yang saling berlomba dalam meraih naungan teduh pada hari yang tiada naungan kecuali naungan Allah Tabaaraka wa Ta’ala . Itulah hati orang-orang yang dicintai oleh Allah dan seluruh makluq-Nya baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi, yaitu hati manusia yang senantiasa terpaut karena Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.

Jadi... hati-hati, jangan salah jatuh cinta..!

Wallahu a'lam.


Maraji':
Al-Hubb wal Bughdhu Fillah, Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilaly
Tazkiyatun Nafs, Ibnu Qayyim al-Jauziyah
Raudhatul Muhibbin wa Nuzhatul Musytaqin, Ibnu Qayyim al-Jauziyah
Syarh Riyadhush Shalihin, Syaikh Utsaimin
Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhush Shalihin, Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilaly


Catatan kaki:
[1] Riwayat Bukhari (I/60 Fat-hul Baari) dan Muslim (II/13-14, an-Nawawi) dari jalan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
[2] Al-Hubb wal Bughdhu Fillah, Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilaly.
[3] Riwayat Bukhari (II/143 Fat-hul Baari) dan lafadz ini adalah lafadznya, Muslim (VII/121-123, an-Nawawi) dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[4] Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 5125), ahmad (III/150) dan al-Hakim (IV/171) serta selain mereka dari jalan al-Mubarak bin Fudhalah ia berkata: Tsabit al Bunani meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali berkata dalam al-Hubb wal Bughdhu fillah (hal. 69): ‘Sanadnya shahih, perawinya tsiqah, dan al-Mubarak telah menyatakan penyimakannya. Diriwayatkan pula oleh al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIII/66-67) dari jalur ‘Abdurrazzaq, ia berkata: Ma’mar telah menceritakan kepada kami dari al-Asy’ats bin ‘Abdullah dari Anas bin Malik dengan redaksi yang telah disebutkan di atas.’
[5] Riwayat Muslim (XVI/123-124) dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[6] Riwayat Bukhari (VI/303, X/461 Fat-hul Baari), Muslim (XVI/183-184, an-Nawawi), dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[7] Riwayat Muslim (XVI/123, an-Nawawi), dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[8] Hadits shahih, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2390) dan Ahmad (V/236-237).
[9] Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 2508 –Mawaarid) dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Syaikh Salim berkata, ‘Sanadnya hasan. Dalam bab ini diriwayatkan juga dari ‘Umar bin al-Khaththab, ‘Abdullah bin ‘Umar dan selain mereka radhiyallahu ‘anhuma.
[10]Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ahmad (II/298), al-Hakim (I/3 dan IV/168), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIII/52-53), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (VII/204), ath-Thayalisi (no. 2495), al-Bazzar (no. 63-Kasyaf).
[11]Hadits shahih lighairihi, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4681) dari jalur Yahya bin al-Harits dari al-Qasim dari Abu Umamah secara marfu’.
[12]Riwayat Muslim (II/35, an-Nawawi) dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[13]Hadits shahih lighairihi, diriwayatkan oleh Ahmad (IV/286), Ibnu Abu Syaibah dalam al-Iimaan (no. 110) dan ath-Thayalisi (II/48 –Minhatul Ma’buud).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pendukungku

Pengikut